Lima minggu di Melbourne rasanya tak cukup untuk menikmati keindahannya. Suasana ibu kota negara bagian Victoria, Australia ini langsung memikat hati di hari pertama kedatangan saya pada awal Mei lalu. Semakin hari, semakin saya tak ingin pulang. Kini, saya hanya merindukan hal-hal berikut ini.
Di setiap jalur pedestrian di sudut negara bagian Victoria, saya melihat dua jenis traffict light. Pertama, untuk pengendara. Kedua, untuk pejalan kaki. Jalan kaki pilihan terbaik jika ingin menikmati keramaian ibu kota, Melbourne. Menyusuri jalur pedestrian di antara bangunan-bangunan seperti kubus menjulang.
Di persimpangan atau penyeberangan, saya harus pencet tombol bulat di bagian bawah tiang traffict light, agar tak lama menunggu lampu berbentuk orang jalan kaki segera menyalakan warna hijau.
Saya sembunyikan tangan dalam saku jaket, sembari menanti dengan pejalan kaki lainnya. Hingga momen yang paling saya suka pun muncul. “Tuk…tuk…tuk…” berbunyi begitu lampu hijau menyala. Suara yang terdengar menuntun ini berakhir ketika pejalan kaki sudah berhasil menyeberang, kira-kira tiga puluh detik.
Namun jangan khawatir bila tak sempat mengejar bunyi itu. Para pengendara, selalu memberikan waktu tambahan 30 detik bagi pejalan kaki, sebagaimana pengalaman saya.
Jangan bayangkan kalau kemunculan gagak hitam di Melbourne adalah pertanda buruk. Setiap fajar, saya selalu dengar gagak hitam membangunkan orang-orang.
“Oak, oak, oak…”
Suaranya nyaring. Apalagi Subuh di Melbourne adalah saat-saat yang hening. Alarm gagak hitam dari luar flat itu cukup menggantikan kokok ayam bagi saya orang Indonesia.
Tak hanya waktu subuh. Pun burung itu kerap muncul sendiri (tidak berkelompok). Bertengger di pilar-pilar bangunan, ketika siang atau malam hari. Suaranya menggelegar, seperti dalam film serial Haryy Potter yang saya nonton masa kecil.
Ini tak boleh lupa jika jalan-jalan di Melbourne. Seukuran KTP, ia mudah saya selipkan dalam dompet atau cover smartphone. Saya akan menempelkan kartu ini ketika masuk bus atau dan tram (kereta listrik), pada ‘kotak sentuh’ yang tersedia dalam angkutan umum itu. Ia juga bisa digunakan untuk check in di stasiun kereta api untuk perjalanan dengan train.
Enaknya, saya tak perlu menyentuh kartu Myki ketika naik tram pada jalur Free Tram Zone. Selama di lalur ini, penumpang bisa menghemat saldo. Saya harus menempelkan kartu ini (touch on) ketika sudah keluar dari zona gratis dan menempelkan lagi (touch off) saat turun dari tram. Secara otomatis, operator tram akan mengumumkan penumpang setiap “pindah jalur untuk tujuan perjalanan berbeda, pemberhentian selanjutnya, sedang berada atau sudah keluar dari Free Tram Zone.”
Ketika kembali ke Jakarta, saya melihat ada sesuatu yang hilang dari dompet saya: Myki card. Hanya perasaan. Ya, Myki harus dikembalikan ke petugas begitu kita tak akan memakainya lagi. Tak boleh bawa ke luar, sebagaimana rencana saya menjadikannya oleh-oleh.
Kartu Myki dikeluarkan oleh Public Transport Victoria (PTV). Kamu bisa membelinya saat sudah di Melbourne, baik di convention store atau supermarket.
Di Victoria, bus selalu datang pada waktu yang telah dijadwalkan PTV. Suatu pagi, saya telat keluar apartemen hendak ke lokasi pelatihan. Saya harus berjalan kaki dua blok untuk mencapai shelter bus route 250 dan 251. Saya berharap bus telat satu menit saja, sehingga saya tiba on time—sesuatu yang sangat diperhatikan dalam dunia profesionalisme Australia.
Selalu saya baca informasi rute dan waktu yang dipajang dekat shelter bus. Ternyata, bus pukul 08.45 pagi sudah berlalu. Terpaksa menanti yang selanjutnya, pukul 08.54, enam menit sebelum kelas dimulai!
Lain cerita ketika akan turun. Setiap mau turun di tujuan, penumpang harus menekan tombol yang tersedia pada semua tiang penyangga di dalam bus. Tak ada istilah “kiri, Mas” atau ketika sopir terlanjur berhenti kita bilang “ke depan lagi, Bang.”
Saya harus tekan tombol itu sebelum pemberhentian selanjutnya. Suatu kali, sopir bus merutuk gara-gara kawan saya bilang “turun di sini, Pak” begitu ia lupa kalau bus baru saja meninggalkan shelter tujuan kami.
Enaknya, saya bisa menginstall aplikasi PTV di smartphone. Ia memandu seluk-beluk jadwal perjalanan. Saya bisa mengisi start dan tujuan untuk memprediksi perjalanan yang akan saya tempuh. Dijelaskan pula perpindahan bus yang akan dihadapi penumpang bila memilih suatu rute tertentu.
Saya berada di Melbourne menjelang masuk musim dingin. Cuacanya bisa 0 – 17 derajat celcius. Sebelum mengenakan pakaian formal atau informal, saya mesti balut tubuh dengan longsleef dan longjhon. Baju lengan panjang dan celana panjang yang terbuat dari bahan untuk melindungi kulit dari cuaca dingin. Mirip pakaian legin. Setelah itu, baru pakai kaos, kemeja, lalu jaket bertopi jika tak nyaman dengan beanie.
Tak lupa. Sebelum keluar flat, saya harus melilit leher dengan syal. Saya kerap ‘membeku’ jika tak mengenakan yang satu ini saat bepergian. Kadang-kadang, saya juga butuh sarung tangan untuk menghindari tangan mati rasa.
Tapi sungguh terasa sekali ada yang hilang dari badan, begitu sudah di Jakarta.
Saya menyimpan semua itu baik-baik. Beanie yang biasanya penutup kepala dan telinga, kadang-kadang saya jadikan penutup mata waktu tidur tak nyenyak. Syal, mungkin saya bisa menjadikannya handuk! Sarung tangan? Barangkali bisa saya gunakan untuk bekerja kasar.
Tapi, jangan minta dulu.. Semua itu akan saya butuhkan ketika bertualang ke alam liar di Indonesia. Atau, ketika saya kembali ke luar negeri saat musim dingin.
Hari kedua tinggal di flat, resepsionis menelpon. Kenapa air dari kamar mandi merembes ke luar kamar dan membasahi karpet lantai? Tanya resepsionis.
Barangkali ada yang bocor. Soalnya saya dan kawan, paling, cuma menyisakan percikan air wudhu. Jadi airnya tak habis tersedot lubang di lantai kamar mandi.
Saya kembali melihat karpet lembab pada pagi hari selanjutnya. Dan sore kembali dapat laporan. Saya bilang, kami cuma ambil wudhu di wastafel dan mencuci kaki tepat di lubang lantai. Alasan kami tak kuat.
Besok kami akan kena denda jika masih merembes. Akhirnya atas saran seorang Australia yang muslim, kami mengambil wudhu di bathtub. Menyucikan diri dari air kran yang jatuh dalam bak mandi. Dan menggelar handuk di lantai untuk keringkan tapak kaki atau sandal.
Dia juga memberikan kami ceret kecil terbuat dari plastik. Benda yang biasa digunakan muslim di Australia ketika ambil air sembahyang. Karena Pemerintah Australia punya kebijakan hemat air bersih.
Ini hal pertama terbersit saat saya tiba di Melbourne. Bagaimana menemukan makanan halal di negeri minoritas muslim. Terutama makanan Indonesia. Saya tinggal di kawasan yang terkenal dengan Little Italy, karena banyaknya cafe Italia tersebar di sepanjang Lygon Street, di depan apartemen.
Pada hari keempat, saya ketemu seorang Indonesia yang sudah 40 tahun tinggal di Melbourne. Pria berprofesi sopir itu memberitahu bahwa ada warung makan Padang tak jauh dari tempat kami tinggal.
Saya pun mencari rumah makan dimaksud. Dari Lygon Street, saya melewati satu taman untuk mencapai Argyle Street. Hanya 5 menit jalan kaki, saya melihat tulisan “Minang Indonesian Cuisine”. Di sini saya makan nasi putih plus ayam dan bakwan.
Semakin hari, kian mudah menemukan rumah makan khas Melayu. Satu per satu.
Misal saya mulai berlanggangganan pada Noorsiah’s Kitchen, hanya satu menit jalan kaki dari warung Padang di atas. Saya suka ayam goreng dan teh tarik khas Malaysia.
Lalu saya menemukan pula Nelayan Restaurant di CBD (Central Business District/Kawasan Pusat Bisnis). Lengkap dengan menu khas Nusantara seperti masak rendang dan ikan teri.
Saya singgahi pula The Uleg, dapur Indonesia di sudut kota lainnya, dengan menu sate bakar, ikan sambal lado, cendol, dan sup tulang.
Pun Killiney Kopitiam, restoran Singapura, yang ternyata cuma dua menit jalan kaki dari apartemen. Kami bisa menyantap nasi uduk plus teri dengan secangkir kopi tiam yang berkarakter.
Saya penasaran bagaimana rasanya salat Jumat berjamaah di Melbourne. Dua blok dari Ames Street, Carlton Utara, tempat saya ikuti pelatihan, saya menemukan masjid yang dibangun Komunitas Muslim Albania Australia di Herbert Street. Masjid yang juga tempat saya bertemu dengan seorang Indonesia di atas.
Di ruang ambil wudhu, jamaah melepas kaos kaki dan sepatu lantas ambil beberapa tisu yang disediakan dalam kotak tisu. Usai menuntaskan semua rukun wudhu, mereka keringkan kaki dengan tisu itu lalu kembali pakai kaos kaki dan sepatu. Saya mengerti dan teringat penjelasan ustad semasa kecil dulu.
Inilah saatnya saya laksanakan. Jika tidak, kaki saya kedinginan saat berlangsungnya Jumatan. Jumat dimulai pukul 12.30 waktu Australia. Hampir semua jamaah mengenakan kaos kaki dan jaket.
Di satu sudut masjid, ada beberapa anak tangga. Di situlah pengurus masjid berdiri menyampaikan laporan mingguan masjid. Sebelum khatib berceramah dalam Bahasa Arab kemudian diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Sebab tak hanya muslim Albania yang hadir, muslim yang tampaknya dari berbagai negara lain juga bergabung.
Pulang ke apartemen, haus. Putar kran di wastafel. Cuci muka. Ambil gelas. Tampung air, lalu meminumnya langsung. Atau sedikit tak sopan, langsung meneguk dari mulut kran. Saya tak perlu panasi air lagi, kecuali untuk seduh kopi atau teh.
Awalnya saya tak percaya bisa menegak langsung air dari wastafel tanpa dimasak terlebih dahulu. Bahkan saya bisa minum air dari taman-taman. Juga di fasilitas publik seperti bandara.
Misalnya di Bandara Tullamarine Melbourne sebelum terbang ke Canberra, saya minum air dari tempat yang memang disediakan khusus untuk diminum penumpang. Berupa kran dengan selangnya, yang dipasang di sisi koridor dalam bandara.
Saya pun bisa mengisi air dari wastafel di flat ke dalam botol mineral, untuk saya bawa dalam tas.
“Pakaianmu bisa dimasukkan ke mesin pengering. Atur berapa lama waktu, lalu kamu bebas ke mana saja,” tutur seorang panitia pelatihan yang saya ikuti di Melbourne.
Kalau tahu begitu sistemnya, saya takkan bawa banyak pakaian dari Indonesia. Pada malam hari, saya bisa masukkan pakaian kotor dalam mesin pencuci sekitar satu jam. Kemudian angkat untuk saya masukkan dalam mesin satu lagi, mesin pengering. Saya biasa mengaturnya 90 menit, sehingga pakaian benar- benar kering dan rapi. Kadang saya tak perlu menyeterikanya lagi.
Selagi mesin meraung-raung di kamar mandi, saya dan kawan biasanya menyiapkan makan malam di dapur yang juga menggunakan mesin khusus, tak ada kompor yang menyalakan lidah api. Cuma ada empat titik api (seperti tungku) dari balik permukaan kompor yang datar. Jika tidak masak, saya akan mencari makanan halal di luar.
Mesin telah membantu orang di Australia menghemat waktu, membuat orang- orang bisa mengerjakan beberapa hal dalam waktu bersamaan.
*Berlanjut ke 20 Hal Kecil Tentang Melbourne yang Paling Dirindukan [Part 2]