Setiap kebijakan baru selalu seperti mata pisau yang punya dua sisi, antara pro dan kontra. -Airy-
Beberapa waktu lalu dunia pendakian sempat dihebohkan dengan kabar kenaikan harga simaksi di Gunung Rinjani. Bagi wisatawan atau pendaki nasional sendiri sebetulnya kenaikan harga simaksi ini tidak terlalu memberatkan, yaitu hanya sekitar Rp5.000 – Rp7.500 per hari. Jadi untuk pendakian 3-4 hari Kamu akan dikenakan biaya simaksi sekitar Rp20.000 – Rp30.000.
Yang agak mengherankan adalah kenaikan harga simaksi untuk wisatawan asing yang dianggap terlalu mahal. Mereka harus membayar Rp150.000 ribu di hari biasa dan Rp225.000 di hari libur per hari per orang. Jika dihitung untuk pendakian 3-4 hari uang yang harus dikeluarkan sekitar Rp600.000 – Rp900.000.
Meski kenaikan harga simaksi bukan hanya terjadi sekali ini, namun tetap saja kenaikan harga simaksi ini memicu pro kontra khususnya di antara para pendaki. Banyak yang beranggapan bahwa kenaikan harga simaksi yang berlebihan ini dapat menyebabkan gunung sepi dari peminatnya. Untuk lengkapnya, berikut beberapa opini yang sempat kami rangkum.
Cuitan seorang netizen ini mungkin juga mewakili suara hati sebagian besar pendaki yang setuju dengan adanya kenaikan harga simaksi. Banyak pendaki yang setuju dengan kebijakan ini, namun mereka juga mengharapkan adanya peningkatan pelayanan. Mulai dari fasilitas umum, kenyamanan hingga keamanan selama mendaki.
Tak masalah jika harus bayar sedikit lebih mahal. Asalkan uang hasil pembayaran simaksi ini digunakan dengan baik. Misalnya untuk memasang rambu-rambu pendakian, memperbaiki toilet umum, renovasi shelter peristirahatan pendaki, atau untuk reboisasi kawasan hutan.
Memang selalu ada sisi positif dan negatif dari sebuah kebijakan, salah satunya kenaikan tarif simaksi. Namun menurut netizen ini, kenaikan harga yang sangat mahal pun bukan masalah apabila diikuti sebuah misi kelestarian lingkungan.
Tak hanya itu, orang-orang yang bisa mengakses pun jadi lebih sedikit. Jadi secara tidak langsung juga akan membuat gunung tidak terlalu ramai dari pendaki.
Ada sebagian netizen yang cukup geram dengan kebijakan kenaikan tarif simaksi ini. Mereka menganggap bahwa kenaikan tarif ini hanya untuk menarik lebih banyak uang dari pendaki. Bahkan ada yang beropini bahwa pengelola sebenarnya hanya malas bekerja dan ingin mengambil uangnya saja.
Terlepas itu benar atau tidak, seharusnya memang pihak pengelola harus meningkatkan pelayanannya. Hal ini juga akan kembali kepada pihak pengelola sendiri pastinya. Dimana semakin banyak orang yang puas dengan pelayanan selama pendakian di sebuah gunung, pasti akan membawa citra yang baik bagi pihak pengelola.
Kebijakan kenaikan tarif simaksi di beberapa gunung juga akhirnya memicu kegeraman yang lain. Ada seorang netizen yang membagikan ceritanya, menurutnya ketika dia naik gunung pun tetap harus membayar mahal hanya untuk menggunakan toilet. Padahal para pendaki sudah membayar mahal untuk simaksi.
Menurutnya, para pengelola hanya mengambil keuntungan dari uang namun tidak memperhatikan segi fasilitas. Banyak juga preman yang meminta uang lebih pada pendaki, misalnya saat menggunakan toilet tersebut. Hal ini tentu akan membuat banyak pendaki kemudian tidak setuju dengan adanya kenaikan tarif simaksi tersebut.
Netizen ini menganggap bahwa kenaikan tarif simaksi khususnya di Gunung Rinjani terlalu mahal untuk wisatawan asing. Ia membandingkan dengan Gunung Huashan di China, yang menurutnya memiliki pemandangan dan fasilitas yang luar biasa. Di Gunung Huashan pendaki hanya dikenakan biaya sekitar Rp360.000 untuk 2 hari.
Ini menjadi cambuk bagi pengelola pendakian di gunung Indonesia secara umum, agar benar-benar memperhatikan peningkatan pelayanan dan fasilitas. Jika hal ini dapat memuaskan para pendaki asing, rasanya mereka juga nggak akan merasa keberatan. Apalagi gunung di Indonesia memang memiliki karakter yang unik dan beragam.
***
Terlepas dari pro kontra pendaki atas kebijakan kenaikan tarif simaksi ini, sebetulnya ada banyak PR untuk pihak pengelola. Baik mencakup persoalan fasilitas atau juga persoalan pendaki. Masalah-masalah ini sebetulnya bukan menjadi rahasia umum lagi, dan ini harus segera menjadi perhatian serius bagi pihak pengelola.
Nggak semua pendaki gunung mau mengeluarkan biaya lebih hanya untuk mendaki lewat jalur resmi. Apalagi jika mereka sudah pernah mendaki lewat jalur yang tak resmi, atau mereka kerap menyebutnya jalur tikus. Nah, pendaki ini biasanya lebih memilih lewat jalur tikus ini ketimbang jalur resmi untuk menghindari pembayaran biaya simaksi yang mahal.
Hal ini sebetulnya tidak dianjurkan, karena pengelola tidak bisa mengontrol pendaki. Jika ternyata pendaki ilegal ini mengalami kecelakaan, tentu akan sulit untuk dilacak oleh petugas. Untuk itu, tugas pengelola adalah mencari dan menutup jalur-jalur tikus ini untuk menghindari resiko pendaki ilegal.
Tak salah jika pendaki menginginkan keamanan dirinya dan juga barang-barangnya terjaga selama mendaki. Apalagi jika mereka sudah bayar mahal untuk bisa mendaki di gunung tersebut. Sayangnya keamanan ini masih kurang diperhatikan di beberapa gunung.
Salah satu contohnya, seorang teman pendaki yang dulu sempat mendaki salah satu gunung di Jawa Tengah harus merelakan peralatan mendakinya hilang dicuri orang. Ini tentu akan membuat para pendaki merasa kecewa pada pihak pengelola yang belum mampu memaksimalkan keamanan.
Pengelola juga harus bisa menjaga keamanan pendaki dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang sengaja mengambil keuntungan dari pendaki. Misalnya orang-orang yang melakukan pungli pada pendaki secara ilegal.
Kamu pasti masih ingat, beberapa waktu lalu gunung selalu dibanjiri oknum pendaki yang tak tahu aturan. Mereka dengan mengotori dan merusak ekosistem gunung hanya untuk eksistensi diri mereka. Aksi vandalisme pun tak terelakkan di sela-sela maraknya pendaki hits ini.
Ini juga tak lepas dari lalainya pengelola untuk memberikan edukasi pada para pendaki pemula ini. Paling tidak ada usaha untuk mengedukasi sebelum mereka mendaki. Misalnya dengan menyediakan trash bag untuk mengangkut sampah. Jadi, tak ada alasan lagi bagi para pendaki untuk tidak membawa turun sampahnya. Dengan demikian, masalah sampah bisa sedikit teratasi.
Cerita pilu pun datang dari seorang teman yang dari jaman baheula sudah suka mendaki gunung. Saat mendaki gunung Semeru, dia terkaget-kaget karena antrean pendaki yang begitu mengular. Hingga akhirnya ia lebih memilih turun kembali daripada lelah menanti yang tak pasti.
Ia sendiri heran, bagaimana mungkin pihak pengelola tidak membatasi jumlah pendaki yang bisa masuk ke area pendakian? Apakah memang tidak ada standar pembatasan untuk jumlah pendaki?
Jumlah pendaki yang overload tentu akan menjadi masalah serius ketika di gunung. Bukan lagi masalah sampah, tapi keselamatan para pendaki. Bayangkan saja jika tak ada tempat untuk mendirikan tenda, lalu mereka harus bermalam di pinggiran jurang. Atau karena berdesakan untuk mencapai puncak lalu ada yang terjatuh dan luka parah. Benarkah hal ini sudah mulai dilupakan hanya untuk meraup rupiah lebih banyak?
***
Terlepas dari pro kontra kenaikan tarif simaksi ini, pengelola seharusnya lebih memperhatikan pelayanan fasilitas bagi pendaki. Pengelola bisa menambahkan rambu pendakian di sepanjang jalur untuk meminimalisir kasus kecelakaan dan tersesat. Fasilitas umum seperti toilet pun harus diperhatikan agar tetap bersih dan nyaman saat digunakan pendaki.
Kamu pun sebagai pendaki harus turut serta membantu langkah pengelola. Caranya dimulai dari hal kecil yang bisa dilakukan diri sendiri, seperti menaati peraturan resmi yang berlaku di gunung tersebut.