Itu karena saya menyukai wisata yang berbau budaya. Semakin banyaknya budaya asing yang masuk, mereka mulai terkontamisi dengan dunia barat yang dianggap lebih kekinian dan mulai lupa
dengan budaya dan adat istiadat sendiri.
Di sini, Tana Toraja, saya bisa mengenal budaya dan adat yang tidak ada di tempat lain bahkan di dunia manapun.
Berangkat dari Jakarta dengan menggunakan pesawat, saya mendarat di Makassar. Saya adalah pemburu tiket promo, jadi sudah jauh-jauh hari saya menyiapkan perjalanan ini dengan planning yang cukup rapi.
Dari Makassar menuju Toraja membutuhkan waktu sekitar 8 jam. Berdasar informasi yang saya dapat, saya perlu berangkat dari Makassar menuju Toraja pada malam hari pukul 21.00 waktu setempat. Karena malamnya kita bisa tidur di bus. Keesokan pagi, setibanya di sana saya sudah siap untuk melanjutkan perjalanan dan berkeliling-liling Tana Toraja. Energi sudah terisi kembali.
Untuk tiket bus ke Toraja harganya Rp 150.000,- sampai Rp 180.000,- per orang.
Untuk memaksimalkan petualangan di Toraja, saya memilih untuk menyewa kendaraan bermotor. Tempat lokasi wisata yang berada di bagian utara dan berseberangan di selatan, membuat saya harus mengambil alternatif dengan pergerakkan yang gesit dan motor adalah jawabannya. Kendaraan yang saya sewa adalah kendaaran yang saya sewa dari tempat penginapan. Karena kita akan dapat harga diskon double.
Tana Toraja menyediakan banyak tempat penginapan karena memang lokasinya sebagai tempat wisata. Ada beberapa rekomendasi penginapan murah yang saya dapat yaitu Wisma Maria I di kota Rantepao dan Mama Rina Homestay di Batutumonga. Dari keduanya saya tidak terlalu sreg, dan akhirnya pilihan saya jatuh ke wisma Monica dengan tarif Rp 250.000,- ribu per malam. Walaupun sedikit mahal per malamnya di banding dengan tawaran penginapan dengan harga Rp 90.000,- tapi penginapan ini jauh lebih nyaman.
Berkunjung ke Museum Na’ Gandeng’ kita bisa melihat proses pemakaman adat Toraja yang khas. Awalnya Ne’ Gandeng digunakan untuk pelaksanaan prosesi pemakaman tokoh Ne’ Gandeng yang berjasa di Tana Toraja. Namun, sekarang ini, semua warga Tana Toraja boleh menggunakannya.
Untuk sekedar melihat-lihat seperti apa rumah adat Toraja, tak ada salahnya saya berkunjung ke Pallawa. Rumah adat Toraja dinamakan Tongkonan dengan atap melengkung seperti perahu dan terbuat dari bambu yang disusun kuat. Kalau di setiap sudut ruang kelas terdapat foto presiden dan wakilnya serta burung garuda, di sini terdapat susunan tanduk kerbau di bagian depannya.
Hamparan sawah yang luas dan batu batu besar teronggok di sembarang tempat, adalah kuburan batu bagi warga Toraja di Batutumonga. Satu keluarga memiliki satu batu. Wisata ini memang cukup seram karena identik dengan mayat dan kuburan. Tapi panorama dari atas lereng Gunung Sesean ini begitu memanjakan mata. Sawah tersusun rapi berterasering. Seperti sawah-sawah cantik di Bali yang sering terekspose televisi.
Selain kuburan yang berada di batu-batu besar, Toraja juga memiliki kuburan lapangan rumput, Bori. Untuk masuk, saya dipungut biaya masuk sebesar Rp 10.000,-. Saya seperti diajak ke zaman purbakala dulu dengan adanya menhir (batu berdiri) yang biasa saya dengar dalam pelajaran sejarah.
Kete desu, kuburan ini berusia ribuan tahun. Begitulah yang saya dengar dari warga lokal di sini. Kuburan batu yang menyerupai sampan. Cukup merinding ketika saya melihat sisa-sisa tengkorak dan tulang manusia berserakan di samping peti jenazah.
Tidak perlu cemas untuk berburu makanan di Tana Toraja yang identik dengan makanan berbahan dasar daging babi. Ada juga pengganti daging babi untuk muslim, yaitu dengan daging ayam atau ikan. Makanan pertama yang saya buru adalah pa’piong burak.
Kalau di tanah Jawa, pa’piong burak mirip dengan pepes. Hanya saja bedanya terletak pada cara pemasakan. Makanan khas Toraja tersebut di bakar di batang bambu yang dilapisi daun pisang. Perpaduan rempah yang lengkap dengan daging ayam, membuat lidah tak ingin berhenti mengunyah.
Beberapa hari berlibur di sana, saya tak mau ketinggalan untuk mencicipi masakan lainnya. Ada juga pamarrasan. Sebenarnya makanan ini juga berbahan dasar daging babi, tapi utuk muslim bisa diganti dengan ikan. Dari tampilan, pamarrasan mirip seperti rawon hanya saja kuahnya sedikit. Untuk makanan yang segar-segar, saya bisa menikmati makanan berkuah pantollo’ uwai, sopnya orang Toraja. Hanya saja namanya yang unik membuat saya ingin mencicipinya.
Hampir di warung makan terdapat sambel. Sambel ini terbuat dari sambal khas Toraja, Tu’tuk Lada Katokkan. Ah, pedasnya nendang banget sampai ke perut saya.
Jauh-jauh hari sebelum kedatangan saya ke sini, teman-teman meminta oleh-oleh berupa kopi Toraja. Katanya rasanya berbeda dari tempat-tempat lainnya, yakni rasa tanah dan hutan dan setelah saya coba, memang benar adanya. Namun, aromanya begitu menusuk hidung ketika segelas kopi tersaji di depan saya.