Kalau Kamu belum bisa bangga menjadi Indonesia, paling tidak bersyukurlah sudah tinggal di Indonesia
Jam di ponsel sudah menunjukkan pukul 01.00 dini hari, namun saya masih juga belum menemukan lapak yang nyaman untuk merebah. Padahal, esok pukul 07.00 pagi, sudah harus terbang ke Phnom Penh.
Setelah cukup lama berjalan memutari KLIA2, akhirnya area food court lantai 2 menjadi pilihan untuk sekadar memejamkan mata 2-3 jam.
Perjalanan kali ini sungguh luar biasa. Bukan karena bisa jalan-jalan ke luar negeri. Tapi, ini adalah perjalanan solo backpacking perdana. I was too excited taking this journey!
Setibanya di Bandara Internasional Phnom Penh, saya dikejutkan dengan tingkah seorang petugas imigrasi. Entah pendengaran yang kurang baik atau pronunciation si bapak petugas imigrasi yang kurang pas, saya nggak paham dengan apa yang diucapkannya.
Kata dia dengan Bahasa Inggris logat Kamboja, “tip? do you want to give tip?”
Hah? Maksudnya apa ini? Saya pikir ada yang salah dengan paspor saya. Seketika itu juga saya tanya baik-baik. Si oknum ini pun menjelaskan dengan gamblang kalau dia minta uang “tip”. OMG! Perasaan di Indonesia juga banyak koruptor dan oknum petugas nggak baik, tapi belum pernah dimintai tip dengan frontal seperti ini. Karena saya orang yang memegang teguh prinsip anti korupsi, kolusi, dan nepotisme, saya pun menolak dan berlalu meninggalkannya.
Saya segera meninggalkan bandara dan mencari tuk-tuk untuk mengunjungi Killing Field.
Bagi saya, mencari supir tuk-tuk adalah tantangan terberat kedua setelah naik pesawat. FYI, saya suka jalan-jalan, tapi selalu takut ketika harus naik pesawat. Sesuai dengan tips yang saya baca, carilah supir tuk-tuk di luar bandara. Biasanya harganya lebih murah.
Setelah berjalan cukup jauh dan menolak beberapa supir tuk-tuk, akhirnya hati saya berlabuh pada supir tuk-tuk bernama “Weboll”. Kenapa memilih dia? Tentu saja karena dia memberikan tarif yang paling murah dibandingkan yang lainnya: 10 USD untuk mengunjungi destinasi wisata di Phnom Penh dan berakhir di pool bus GIANT IBIS.
Bahagia rasanya bisa menemukan tuk-tuk murah. Sayangnya kebahagiaan itu hilang ketika Weboll menurunkan saya di tengah jalan. Sangat terkejut, sedikit panik, dan bete. Karena 1/2 jam lagi saya sudah harus tiba di pool bus GIANT IBIS untuk mengejar jadwal keberangkatan bus.
Setelah berdebat cukup panjang menggunakan bahasa Inggris campur bahasa jawa (saking kesalnya dengan si Weboll yang nggak paham bahasa Inggris), akhirnya kita berdua bersepakat dengan syarat, supir tuk-tuk ini meminta tambahan uang 4 USD. Ya sudahlah, ngikut saja karena saya harus memburu waktu juga. Yang bikin kesal, ternyata lokasi pool GIANT IBIS kurang sedikit lagi sampai.
Kalau Kamu mau keliling Indochina dengan jalur darat, bus GIANT IBIS bisa jadi pilihan. Bus kelas VIP ini bertarif 16 USD. Snack, air mineral, plug, dan suhu AC yang dingin menjadi fasilitas penunjang yang cukup nyaman. Kalau mau yang lebih hemat, ada SURYA bus dengan tarif 10 USD. Bedanya, Kamu cuma dapat fasilitas AC.
Di sebelah saya, duduk seorang cewek bule Amerika berambut pirang. Awalnya, dia tidak banyak bicara. Lalu, basa-basi saya membuka obrolan membahas Donald Trump. Topik tentang presiden baru Amerika ini membuatnya berapi-api menceritakan tentang kekesalannya terhadap Trump. Kata dia, perjalanannya keliling Asia Tenggara ini adalah bagian kekecewaannya terhadap hasil pemilihan presiden. Dia enggan mengakui Trump sebagai presiden.
” I will go back to Amerika after 4 years travel around the world” canda dia.
Jadi teringat, tahun 2014 silam, Indonesia pun ramai dan ribut masalah pilpres. Netizen dari ke-dua kubu ramai saling menjatuhkan calon presiden di sosial media. Beruntung, ketika dihadapkan hal yang serupa, warga Indonesia masih adem ayem dan legowo dengan hasil pimilu. Setidaknya, belum muncul berita, warga Indonesia kabur keliling dunia karena muak dengan presiden terpilih.
Dibanding membahas Donald Trump, sosok pebisnis dan politikus yang kontroversial, saya lebih tertarik menceritakan keindahan alam dan keunikan budaya Indonesia kepada Michelle Winjhoven, teman sekamar di hostel Siem Reap yang berasal dari Belanda.
Malam itu, saya dan Michelle makan malam berdua di salah satu resto di Pub Street, Siem Reap. Ketika dia tahu saya berasal dari Indonesia, hal pertama yang ditanyakan adalah:
“Apakah orang Indonesia membenci warga Belanda?”
Well, sejarah penindasan Belanda kepada rakyat Indonesia ratusan tahun silam ternyata membuat warga Belanda ini iba dan merasa bersalah. Ada kekhawatiran, orang Indonesia menolak kehadirannya. Saat saya bilang orang Indonesia (setidaknya orang-orang Indonesia yang saya kenal) tak seperti apa yang dia pikirkan, dia terlihat begitu lega.
Lalu, Michelle bercerita tentang makanan Indonesia yang banyak dijumpainya di restoran Belanda. Kata dia, lunpia dan nasi goreng adalah makanan favoritnya. Meski pernah mencicipi makanan yang mirip lunpia di Vietnam, menurutnya lunpia Indonesia lebih enak. Cita rasa kuliner Indonesia telah begitu melekat di lidahnya.
“Belanda tidak seperti Indonesia. Kami tidak memiliki banyak makanan khas. Hanya beberapa makanan, itu pun sudah umum dijumpai di negara Eropa lain.” – Michelle
Katanya, suatu saat nanti, dia akan datang ke Indonesia. Dia ingin melihat Candi Borobudur dan mencoba lunpia asli bikinan warga lokal Indonesia.
Hampir semua turis asing yang saya temui di Kamboja tahu tentang Indonesia. Bahkan beberapa di antaranya sudah menginjakan kaki di Bali dan Labuan Bajo. Yang saya heran, malah warga lokal Kamboja yang masih satu wilayah Asia Tenggara tidak mengenali Indonesia.
Ketika saya bilang, saya berasal dari Indonesia, mereka mengira Indonesia adalah Malaysia. Tidak hanya lelaki bernama Phao yang duduk satu bangku saat perjalanan dari Siem Reap ke Phnom Penh yang mengatakannya. Semua orang lokal yang saya temui berpikiran hal yang sama. Sampai-sampai saya harus menggambar peta Indonesia dan Malaysia (karena smartphone saya mati) untuk menjelaskan bahwa Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang berbeda.
Indonesia itu negara kepulauan yang memiliki banyak hasil alam dan dikelilingi lautan
Dari situlah saya mulai bercerita tentang negara bernama Indonesia. Kondisi masyarakatnya, geografisnya, kehidupan sosial, budaya, hingga keadaan ekonomi. Sebaliknya, Phao pun menceritakan hal serupa tentang Kamboja. Kata Phao, Kamboja memiliki pantai yang indah. Untuk menuju ke sana, kita harus menempuh perjalanan berjam-jam. Kamboja pun juga punya gunung. Meski tidak sebanyak gunung di Indonesia.
Masih melanjutkan cerita tentang negaranya, dengan bangga Phao memaparkan bahwa sektor pertanian adalah andalan Kamboja. Mereka memanfaatkan hasil palem untuk segala hal. Diolah menjadi gula, sebagai atap rumah, kerajinan tangan, dan sebaginya. Bahkan, dia optimis Kamboja akan menjadi negara yang menguasai ekspor beras di wilayah Asia Tenggara. Lalu, Phao bertanya pada saya “apa yang orang Indonesia tanam?” Belum juga saya jawab dia melanjutkan kalimatnya, “Impor beras dari Kamboja saja dan jual di negaramu”.
***
To be honest, setelah berbincang dengan beberapa teman yang saya temui selama traveling ke Kamboja, ada perasaan syukur sudah terlahir di Indonesia. Besyukur karena kebanyakan bangsa Indonesia adalah bangsa yang legowo, lalu merasa beruntung karena Indonesia memiliki ragam menu makanan enak.
Apalagi jika membahas alam Indonesia. Mau main ke pantai pun tidak perlu pergi jauh-jauh karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang dikelilingi lautan. Ingin mendaki gunung pun kita punya banyak pilihan. Bangunan-bangunan peninggalan sejarah pun dengan mudah ditemui.
Sedangkan, jika membahas hasil bumi, Indonesia tidak kalah dari negara lain. Kalau kata Yok Koeswoyo, “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Yap, sepertinya apapun bisa tumbuh subur di tanah Indonesia.
Sesekali jangan cuma melihat kebobrokan Indonesia yang selalu disiarkan media. Masih banyak hal positif yang patut kita syukuri. Kalau Kamu belum bisa bangga menjadi Indonesia, paling tidak Kamu harus bersyukur sudah tinggal di Indonesia.