Isu tentang oleh-oleh kian viral belakangan ini, kemunculannya di dunia maya seringkali menggiring para pembacanya menjadi saling debat, tentu saja selalu ada yang pro maupun kontra atas perihal klasik ini. Ada yang berpikiran bahwa oleh-oleh merupakan beban, bahkan secara hiperbola bisa diumpamakan bagai mimpi buruk yang selalu membayanginya ketika traveling. Namun tak sedikit juga traveler yang berpikiran bahwa membeli oleh-oleh adalah suatu keharusan yang juga merupakan seni dari perjalanan yang sedang dilakukannya.
Bagi poros yang gemar membelikan oleh-oleh mungkin hal ini bukanlah suatu hal yang serius yang perlu dicari jalan keluarnya. Namun bagi kaum lainnya hal ini ternyata signifikan. Pasti sesekali pernah terbesit dan menjadi polemik di dalam pikiran kita antara takutnya kita dicap pelit akibat tidak membelikan oleh-oleh atau khawatir akan terpangkasnya budget perjalanan kita akibat membeli oleh-oleh.
Saya sendiri adalah traveler jenis kedua yakni tipe orang yang jarang bahkan nyaris tidak pernah membelikan oleh-oleh kepada teman dan keluarga saya di kampung halaman. Karena saya selalu traveling dengan gaya backpacking yang notabene sangat menekan pengeluaran, maka oleh-oleh adalah problem bagi saya, namun di sisi lain saya juga khawatir akan opini dari teman-teman yang mengatakan bahwa saya pelit akibat tidak membawakan oleh-oleh. Pernah mencoba untuk masa bodoh dan membuat statemen pembelaan atas opini-opini sentimentil tersebut, namun rasanya bohong bila saya tidak pernah mempedulikan ucapan-ucapan tersebut.
Sadar tidak sadar oleh-oleh memang memangkas anggaran kita para traveler baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung sangat jelas yakni biaya untuk membeli oleh-oleh tersebut. Sedangkan yang tak langsung dan kerap kali tidak disadari oleh kawan-kawan kita di rumah adalah fakta tentang pengorbanan si pelancong yang harus memboyong barang-barang itu selama si petualang berpindah-pindah tempat terkhusus lagi bagi yang melakukan long term trip, kapasitas bagasi yang mungkin akan overload dan juga menyita sebagian dari waktu traveling.
Magnet kulkas dan gantungan kunci sempat menjadi solusi andalan saya atas polemik oleh-oleh ini. Alasan utamanya adalah karena harganya yang relatif murah, juga tidak pusing harus memikirkan yang ini untuk siapa dan yang itu untuk siapa karena kedua jenis benda tersebut adalah benda universal yang bisa digunakan oleh siapapun, tidak peduli apa jenis kelaminnya dan berapa umurnya. Awalnya ukuran yang kecil juga sempat menjadi alasan mengapa saya membeli dua benda tersebut, namun ternyata hal ini bukan alasan yang cukup tepat ketika saya menjalani traveling jangka panjang dan jumlah barang yang dibeli cukup banyak. Pernah selama hampir satu bulan oleh-oleh seberat 2 kilogram terdiam manis menambah beban di dalam tas saya yang selalu saya gendong dari kota ke kota da negara ke negara.
Fakta lainnya adalah bahwasanya magnet kulkas dan gantungan kunci juga sudah tidak mendapatkan tempat yang spesial di hati para teman-teman kita yang menunggu kepulangan kita di kampung halaman. Mungkin ini karena sudah terlalu seringnya mereka mendapatkan kedua hal tersebut sampai-sampai dianggap sudah tidak spesial dan sangat pasaran.
Dan akhirnya kedua benda tersebut pun tereliminasi dari solusi polemik oleh-oleh yang pernah saya buat dan lakukan.
Jujur baru tahun lalu saya menemukan solusi yang akhirnya membuat saya jatuh cinta terhadap kegiatan kirim-mengirim kartu pos ini. Awal mulanya adalah ketika saya traveling dengan teman perjalanan saya yang berasal dari Rusia. Dia sangat rajin berkunjung ke kantor pos dan mengirim postcard untuk neneknya di Rusia setiap kami berpindah kota. Lalu dia pun menyarankan saya agar mengirim postcard juga.
“Ayo kumpulkan alamat keluarga dan temanmu! Kamu harus coba mengirim postcard, ini menyenangkan dan membuat orang lain bahagia,” ucap travelmate saya kala itu.
Lalu diapakan?
Alangkah lebih baik bila postcard dikirim dengan menggunakan jasa pos dari lokasi yang sedang kita kunjungi, lokasi dimana postcard itu berasal. Karena apabila kartu pos tersebut kita bawa pulang dan lalu memberikannya langsung kepada rekan kita maka nilai dari kartu pos tersebut akan menjadi tidak ada bedanya dengan oleh-oleh gantungan kunci dan magnet kulkas yang sudah tidak spesial, bahkan mungkin lebih tidak bernilai karena wujudnya yang hanya terbuat dari kertas.
Namun akan menjadi berbeda ketika kita mengirimnya dari daerah di mana kita bertualang. Saya berpendapat bahwa yang membuat postcard menjadi sangat berharga adalah cap, perangko dan tulisan tangan dari si pengirimnya.
Jadi, kenapa harus kartu pos?
Pertama-tama karena postcard merupakan gambaran kecil dari lokasi yang kita kunjungi, karena biasanya gambar yang dicetak menjadi postcard adalah gambar-gambar yang memvisualisasikan identitas dari kota ataupun negara tersebut seperti misalnya gambar landmark, bangunan bersejarah, objek wisata, alam, kesenian lokal dan masih banyak ragam lainnya.
Mengirim postcard adalah cara berbagi kesenangan yang sangat efisien dibandingkan membawa oleh-oleh. Karena kita tidak perlu membawa-bawanya di dalam ransel selama saya traveling. Postcard juga relatif murah namun tidak murahan. Mengapa tidak murahan? Jelas karena postcard dari suatu kota atau wilayah tertentu hanya bisa didapatkan di kota tersebut, bisa dibilang juga bahwa benda ini endemik.
Postcard itu niat, bukan formalitas. Mengapa saya mengatakan demikian? Jawabannya karena mengirim postcard itu harus melalui beberapa proses, yang saya jamin proses ini akan sangat menyenangkan. Pertama-tama kita harus meluangkan waktu untuk mengunjungi kantor pos atau toko yang menjual postcard dan perangko, kemudian memilih dan membelinya. Lalu kita juga harus menuliskan satu-persatu secara spesifik kepada siapa postcard itu dialamatkan dan tak lupa juga menuliskan pesan-pesan pribadi kepada mereka masing-masing, ini bisa jadi alternatif untuk mengisi waktu kosong kita di kala traveling. Belum berhenti di situ, kita juga harus kembali lagi ke kantor pos atau mencari bis surat untuk mengirimkannya. Berbeda dengan membeli oleh-oleh seperti magnet, gantungan kunci yang mana kita cukup membelinya tanpa pusing di sebuah toko dan mengambilnya sesuai jumlah orang yang akan kita beri.
Kegiatan ini secara tidak langsung menggiring kita untuk mengunjungi kantor pos yang berada di lokasi traveling. Dan biasanya kantor dari salah satu fasilitas dan media komunikasi tertua di dunia ini mendiami gedung-gedung tua, bagi saya yang mencintai nuansa heritage tentu hal ini sangat menyenangkan. Dari postcard juga kita bisa menjadi tahu tentang lokasi yang sedang kita kunjungi. Intinya sambil menyelam minum air, sambil mengirim postcard kita juga bisa mengeksplor keunikan-keunikan yang tergambar di postcard langsung di lokasi kita berada saat itu.
Budaya kirim-mengirim postcard memang tidak begitu populer di Indonesia, banyak dari yang saya pernah kirimi ternyata sangat jarang bahkan belum pernah menerima sepucuk kartu pos pun di sepanjang hidupnya.
Dan terakhir yang paling penting dan membuat bahagia adalah ketika teman-teman yang menerima postcard di rumahnya menghubungi saya untuk memberitahukan bahwa postcard yang saya kirim sudah sampai dengan selamat dan berada di genggamannya. Tidak ada satupun dari mereka yang menerima postcard menyatakan kecewa atas kiriman pengganti oleh-oleh dar saya tersebut, mereka sangat excited ketika menerimanya langsung dari petugas pos yang mengirimkan kartu tersebut di depan pintu rumahnya, bahkan ada yang terinspirasi untuk traveling dan mengirim postcard.
NB:
Saya mau bagi-bagi 10 postcard tentang lokasi domisili saya Sukabumi yang kebetulan saya buat sendiri. Postcard akan saya kirim melalui kantor pos Sukabumi.