Sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin telah mengenal Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta sebagai pecahan Kerajaan Mataram Islam yang berkuasa di tanah Jawa. Tidak, masih ada satu lagi yaitu Praja Mangkunegaran yang berkuasa di Surakarta sejak 1757 sampai tahun 1946. Penguasanya yaitu Wangsa Mangkunegaran, dimulai dari Mangkunegara I.
Kerajaan ini terbentuk melalui Perjanjian Salatiga oada 1757 antara R,M, Said yang kemudian bergelar K.G.P.A.A Mangkunegara I dan Pakubuwono III dari Kasunanan Surakarta. Perjanjian Salatiga ini adalah solusi dari R.M. Said yang memberontak setelah Pakubuwono III menyetujui isi Perjanjian Giyanti dengan Hindia Belanda pada dua tahun tahun sebelumnya.
Berdasarkan Perjanjian Salatiga, Wangsa Mangkunegaran menguasai timur dan selatan dari sisa wilayah Mataram sebelah timur. Jumlah ini yaitu 49% dari wilayah Kasunanan Surakarta sejak tahun 1830 atau setelah Perang Diponegoro. Wangsa Mangkunegaran bertakhta di Pura Mangkunegaran Surakarta yang terletak di Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari.
Meskipun termasuk wilayah otonom yang sama dengan dua pecahan dari Kerajaan Mataram lainnya, penguasa Mangkunegaran tak memiliki otoritas yang sama. Penguasanya pun tidak menyandang gelar “Sunan” atau “Sultan”, tapi “Pangeran Adipati Arya”. Mangkunegaran adalah kadipaten sehingga kedudukannya lebih rendah dari Surakarta atau Yogyakarta.
Secara arsiterktur, Pura Mangkunegaran mirip dengan bangunan keraton, seperti memiliki pamedan, pendapa, pringgitan, dalem, dan keputren. Pura ini hampir seluruhnya dikelilingi oleh tembok, hanya bagian pamedan yang diberi pagar besi. Beberapa kali bangunan ini mengalami renovasi, namun substansi dan keaslian Pura Mangkunegaran masih terjaga, tak berubah.
Sebagi contoh, misalnya kayu jati yang menyangga atap pura. Begitu pula lantai marmer yang diimpor langsung dari Eropa. Tidak cukup sampai di sini, Pura Mangkunegaran banyak dihiasi oleh patung dan barang-barang otentik warisan masa lalu, Patung perunggu di depan pura adalah dari peninggalan Belanda, lampu dari Istana Bogor, dan kaca impor dari Belgia.
Pura Mangkunegaran dalam kesehariannya digunakan sebagai tempat untuk menggelar upacara adat dan tari bekasan. Di dalamnya terdapat museum adipati mangkunegaran dengan koleksi berupa pedang dari berbagai dinasti, akik, lencana, bambu runcing, dan senjata api. Ada juga lukisan dari tokoh-tokoh yang berjasa mendirikan istana hebat ini.
Praja Mangkunegaran sangat berjasa menghadirkan modernitas di Jawa yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakatnya. Sebut saja Pabrik Gula yang dibangun oleh Mangkunegara IV dan Stasiun Kereta Api Solo Balapan yang tanahnya milik trah Mangkunegaran. Mangkunegara VII membangun Ponten yang merupakan sarana MCK bagi masyarakat, pembangunan taman Balekambang, mendirikan stasiun radio yang jadi cikal bakal Radio Republik Indonesia (RRI), dan revitalisasi Pasar Legi.
Tak hanya fasilitas, modernitas Praja Mangkunegaran juga hadir dalam gaya berbusana, termasuk batik. Batik ini memiliki corak baru yang dikenal Batik Mataraman. Motif-motif tersebut merupakan perpaduan antara motif buketan dan gaya-gaya pakem klasik serta pewarnaan sogan Jawa. Nama motif-motifnya tersebut adalah Candi Luhur, Grageh Waluh, dan Pakis.