Republik Korea atau yang lebih dikenal sebagai Korea Selatan merupakan negara berdaulat di Asia Timur yang menguasai Semenanjung Korea di bagian selatan. Sebelum merdeka pada 15 Agustus 1948, Korea Selatan bernasib sama dengan Indonesia, yaitu menjadi jajahan negara Japang. Kolonialisme Jepang di Korea Selatan maupun Indonesia berakhir setelah kekalahannya dalam Perang Dunia II melawan Sekutu di tahun 1945.
Setelah merdeka, Korea Selatan masih harus berkecamuk dengan berbagai perang dan konflik internal negaranya. Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terbatas membuat negara ini menjadi salah satu negara termiskin di Asia pada tahun 1960-an. Data dari World Bank, GDP perkapita Korea Selatan di tahun 1955 hanya berada di angka US$ 64 dengan nilai eksport hanya US$ 42 juta.
Saat itu Korea Selatan benar-benar sangat miskin, bahkan lebih miskin dari Malaysia, Thailand, dan Korea Utara. Majalah Time pernah menulis situasi Korea Selatan di masa itu yang disebut lebih buruk dari Irak, Liberia, dan Zimbabwe. Masyarakatnya saat itu sangat menderita, untuk memenuhi kebutuhan pokok pun tidak bisa. Ditambah lagi topografi alam Korea yang keras membutnya harus bergantung pada impor pangan.
Sejarah Korea Selatan diwarnai oleh pemerintahan yang demokratis dan otokratis secara bergantian. Republik yang pertama berdiri sangat demokratis, namun lambat laun berubah menjadi otokratis hingg akhirnya jatuh di tahun 1960. Republik kedua yang demokratis berdiri kembali, namun haru kembali jatuh oleh rezim militer yang otokratis. Republik keenam menjadi pemerintahan yang stabil dengan asas demokrasi liberal.
Ketika Korea Selatan berada di bawah pimpinan Park Chung Hee yang otokratis, perlahan negara ini bangkit menjadi negara maju seperti yang dikenal sekarang. Nilai-nilai konfisius ditamankan oleh rezim otoriter ini hingga mempengaruhi pola berpikir masyarakat Korea dan menciptkan pemikiran kolektif yang kemudian mengajarkan untuk berperan aktif dalam komunitas dan mengutamakan kepentingan bangsa.
Dasar dari nilai-nilai konfisius diantaranya adalah menghormati orang tua, bersikap sopan pada guru, dan mengedepankan kesetiaan kepada negara. Perlahan, pola ini terbawa dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk perusahaan. Sikap pemerintahan Park Chung Hee yang otoriter membuat nilai konfisisu begitu dalam tertanam di benak hampir seluruh masyarakat Korea dan berubah menjadi budaya.
Park Chung Hee menormalisasi hubungan dengan Jepang dan menjalin kesepakatan. Dari Jepang, Korea Selatan memperoleh dana hibah US$ 300 juta dan pinjaman US$ 500 juta untuk pembangunan. Tidak hanya itu, Park Chung Hee juga mengembangkan ekonomi Korea Selatan dengan kebijakan mendukung perusahaan dalam negeri yang dikenal sebagai CHAEBOL, berupa subsidi, keringanan pajak, dan mempermudah perijinan.
Kini, perusahaan dari Korea Selatan seperti Samsung, LG, Hyundai, dan SK menjadi motor penggerak perekonomian Korea Selatan. Simbiosis antara konglomerasi dan pemerintah adalah kekuatan utama perekonomian Korea Selatan. Atas jasa-jasa dari pemerintahan di masa Park Chung Hee, ia kemudian dikenal oleh rakyatnya sebagai peletak dasar bagi kemajuan perekonomian Korea Selatan sekarang.
Hingga akhir hayatnya pada tahun 1979 akibat dibunuh oleh Kepala Badan Intelijen Korea Selatan Kim Jae Gyu, ekonomi Korea Selatan telah bangkit dan berkembang sangat pesat. Di tahun tersebut GDP perkapita Korea Selatan meningkat tajam mencapai US$ 1.770, hingga di tahun 2018 GDP Korea Selatan telah menyentuh angka US$ 31.362, yang menjadikan negara ini sebagai negara maju dan macan Asia yang disegani.