Sebagai bangsa Asia, sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki warna iris mata coklat hingga kehitaman. Namun, sepertinya ciri khas ini tidak berlaku bagi warga di Desa Kaimbulawa, Kecamatan Siompu Timur yang berada di Pulau Siompu, Sulawesi Tenggara. Pasalnya desa unik di Indoensia ini warganya memiliki mata berwarna biru yang menyerupai mata bangsa Kaukasia dari Eropa.
Kabar ini diketahui publik ramai pada tahun 2016 lalu ketika La Ode Yusrie sedang melakukan riset terhadap benteng-benteng di Pulau Siompu. Dari penuturan salah seorang tetua desa, diketahui bahwa mata biru yang dimiliki oleh beberapa warga di Desa Kaimbulawa merupakan warisan dari Portugis yang dahulu sempat menduduki Pulau Siompu.
Saat bangsa Eropa berlomba menguasai rempah-rempah dunia, para pelaut Portugis menjadikan Pulau Siompu sebagi persinggahan sebelum menuju ke Maluku. Selama berlabuh ini, Portugis menjadi hubungan baik dengan warga lokal, bahkan beberapa pria Portugis diijinkan mempersunting gadis Siompu. Cerita ini termuat dalam naskah kuno peninggalan Kesultanan Buton Kanturuna Mohelana yang bermakna Pelitanya Orang Berlayar.
Dikisahkan pada abad ke-16 seorang pimpinan kapal dari Portugis menikah dengan gadis bangsawan dari Pulau Siompu, bernama Waindawula. Ia merupakan anak dari La Laja, bangsawan Wolio yang juga berkerabat dekat dengan La Ode Ntaru Lakina Liya, seorang Raja Liya yang berkuasa tahun 1928. Dari hasil perkawinan tersebut lahirlah anak-anak campuran yang memiliki fisik khas Asia namun bermata biru seperi bangsa Eropa.
Sejak kepergian Portugis dan tanah nusantara jatuh dibawah kekuasaan Hindia Belanda, anak campuran dari orang tua pribumi dan bangsa asing dipandang sebelah mata. Bagi bangsa Belanda, pribumi adalah kaum hina yang tidak setara dengan mereka, sehingga anak campuran adalah aib. Sedangkan bagi pribumi, anak campuran adalah darah pengkhianat.
Akibat stigma negatif ini membuat anak-anak campuran menyingkir ke beberapa wilayah seperti Liya (Kabupaten Wakatobi), Ambon, hingga Malaysia. Anak-anak campuran juga menjadi tertutup dengan orang baru, meraka lebih memilih hidup di hutan atau kebun dan menghindari jalan-jalan ramai untuk menuju suatu tempat.
Belakangan stigma negatif tersebut mulai menghilang. Kelompok warga yang bermata biru pun mulai membuka diri kepada masyarakat umum. Bahkan jika terdapat acara-acara di Kesultanan Buton, warga bermata biru turut diundang sebagai salah satu tamu kehormatan.
Dari 20 kepala keluarga di Desa Kumbalawa, saat ini hanya setengahnya saja yang memiliki mata biru. Sebagian besar telah pergi dari Pulau Siompu karena stigma negatif yang muncul sejak era kolonialisme Hindia Belanda. Mata biru adalah keturunan, kemungkinan akan terlahir anak bermata biru sangat kecil jika mereka menikah dengan penduduk normal dengan warna mata hitam.