Dikenal baik sebagai kuliner Cirebon yang lezatnya menggugah selera, ternyata ada kisah menyedihkan di balik lezatnya Nasi Jamblang yang jarang diketahui oleh banyak orang.
Usia nasi jamblang bukanlah seumur jagung. Kuliner ini sudah ada sejak tahun 1847 atau lebih tepatnya sejak masa kolonial Belanda menjajah Indonesia. Kala itu, kemunculannya bisa dianggap sebagai kuliner revolusioner karena sanggup menyelamatkan nyawa para pekerja paksa yang dipaksa kerja keras dengan upah yang sangat murah meriah.
Dulu, nasi jamblang adalah nasi kebanggaan para pekerja paksa Belanda yang dipaksa membangun jalan Daendels dari Anyer ke Panarukan dan melewati wilayah Cirebon, khususnya para pekerja buruh kasar di Pelabuhan dan Kuli angkut di Jalan Pekalipan.
Ribuan masyarakat Cirebon terlibat dalam pembangunan jalan sering kelaparan, bahkan ratusan jiwa harus melayang akibat tersiksa oleh rasa lapar saat melakoni kerja paksa. Sejak itulah mereka mencari cara untuk bertahan hidup. Dan akhirnya ditemukanlah cara membawa makanan dengan aman dan tahan lama yakni dengan dibungkus daun jati.
Pembungkus daun jati ini bisa membuat makanan lebih awet dan tahan lama dibandingkan daun pisang. Hal tersebut disebabkan karena adanya rongga kecil di daun jati yang berfungsi sebagai sirkulasi udara sehingga makanan yang dibungkus di dalamnya tidak mudah basi. Tekstur nasi pun tetap terasa pulen dan lezat.
Nama nasi jamblang sendiri berasal dari nama sebuah desa di sebelah barat Cirebon, desa Jamblang. Konon dari sinilah kuliner ini terkenal di Zaman Kolonial.
Jadi, makanan ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan pohon atau buah jamblang.
Kini nasi jamblang kian jadi buruan wisatawan karena rasanya yang mantap. Nasi jamblang berisi beraneka ragam lauk dan pauk. Meski demikian, harga yang diberikan relatif sangat murah. Sebab, seperti yang sudah dijelaskan di awal, kuliner ini awalnya diperuntukkan bagi para pekerja buruh kasar dan kuli angkut yang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan.