‘Negeri atas awan’, begitu para traveler sering menyebutnya. Sebutan ini ditujukan untuk kota Wonosobo.
Dieng adalah salah satu tujuan wisata yang paling banyak dikunjungi. Meskipun sebenarnya kawasan wisata ini terdapat di dua kabupaten, yakni Wonosobo dan Banjarnegara, namun Wonosobo lebih terkenal sebagai pemiliknya.
Lima kali aku mengunjungi Dieng, lima kali itu juga aku dibuat kagum pada keindahannya.
Berikut destinasi menarik yang sempat aku kunjungi saat di Dieng.
Kelimutu adalah danau tiga warna yang terletak di NTT. Di Dieng aku merasa menemukan Kelimutu yang lain, namun hanya ada dua danau dengan warna air yang berbeda.
Ialah Telaga Warna dan Telaga Pengilon, dua telaga yang berdampingan namun jika dilihat secara kasat mata akan sangat jelas perbedaannya.
Saat berjalan memutari Telaga Warna aku dapat melihat air berwarna hijau tosca dan beraroma belerang cukup kuat.
Airnya jernih dan ketika aku mencoba mendekat ke bibir danau aku melihat ada gelembung-gelembung udara yang keluar dari permukaan tanah.
Berbeda dengan Telaga Warna, air di Telaga Pengilon cenderung berwarna hijau tua, bahkan kadang terlihat kecoklatan.
Ketika musim hujan airnya akan terlihat lebih coklat dari biasanya. Perbedaan warna kedua telaga akan lebih nampak jika dilihat dari ketinggian.
Jalan setapak yang dikelilingi pohon pinus, udara dingin dan sejuk, serta suara burung yang merdu. Itulah yang aku temui saat mulai masuk di kawasan Candi Arjuna. Setelah 5 menit berjalan dari tempat parkir aku mulai melihat gugusan candi yang masih berdiri kokoh. Beberapa diantaranya adalah candi Arjuna, Candi Semar, dan Candi Gatotkaca.
Candi di kawasan ini masih tersusun rapi dan saat aku mencoba masuk ke dalamnya aku mencium aroma dupa dan menyan yang amat menyengat.
Hal ini menandakan bahwa candi ini masih cukup aktif digunakan untuk ritual.
Di kawasan candi ini aku menemukan beberapa orang berkostum lakon wayang. Aku dan juga pengunjung lainnya diperbolehkan mengambil beberapa foto dengan mereka.
Kawah Sikidang ini cukup menarik perhatianku karena ternyata kawah ini masih aktif. Saat masuk di kawasan parkir bau belerang sudah tercium dengan kuat.
Beruntung aku sudah menyiapkan masker penutup hidung untuk mengantisipasi aroma belerang ini. Untuk menuju ke kawah, aku harus berjalan menyusuri jalan yang penuh dengan lapisan belerang.
Di kawah Sikidang ini aku dapat melihat luapan belerang meskipun samar-samar karena tertutupi oleh asap.
Di sekitaran kawah telah terpasang pagar berbahan bambu yang dipasang seadanya. Pagar bambu ini digunakan untuk pengaman agar pengunjung tidak terlalu dekat dengan kawah.
Di sini aku juga bisa membeli telur yang direbus di kawah. Rasanya memang sedikit berbeda dengan telur rebus biasa. Lidahku sedikit merasakan aroma belerang, namun rasanya cukup enak.
Meskipun sudah lima kali aku mengunjungi Dieng, baru dikesempatan keempat aku menemukan tempat ini. Batu pandang atau beberapa orang menyebutnya Ratapan Angin merupakan tempat untuk melihat pemandangan Dieng dari ketinggian.
Pertama kali sampai di atas bukit Batu Pandang ini aku hanya terdiam cukup lama dan terpaku pada pemandangan yang ku lihat. Hamparan Telaga Warna dan Telaga Pengilon yang terlihat jelas perbedaan warnanya, hamparan perkebunan, kawah Sikidang, serta Gunung Prau adalah beberapa pemandangan yang membuatku tak henti-hentinya berdecak kagum.
Yang cukup mengejutkan adalah ketika seorang teman yang berasal dari Wonosobo pun baru mengetahui adanya tempat tersebut.
Saat kunjungan kelima ku ke Dieng, kawasan Batu Pandang ini sudah dikelola oleh petugas setempat bekerja sama dengan warga.
Jadi sudah tersedia beberapa fasilitas seperti gubug yang di bangun di atas bukit.
Satu hal yang ku sukai di tempat ini adalah ketenangan alam dan kibaran sang saka Merah Putih yang megah.
Aku cinta Indonesia!
Tak perlu jauh-jauh ke luar negeri untuk sekedar menikmati Golden Sunrise. Di Sikunir, aku berhasil menyaksikan betapa indahnya alam Indonesia.
Tak sedikit turis asing yang rela berjalan mendaki bukit Sikunir untuk bisa menikmati sunrise terbaik.
Kawasan kemah terletak di bawah bukit Sikunir.
Ada sebuah lapangan yang cukup besar, dipinggir lapangan terdapat sebuah telaga, yakni Telaga Cebong. Telaga ini digunakan untuk pengairan perkebunan warga.
Untuk mencapai puncak bukit aku hanya perlu berjalan mendaki sekitar 15-20 menit saja. Agar tak ketinggalan momen sunrise secara utuh, waktu yang tepat untuk mendaki adalah sekitar pukul 04.30.
Waktu yang tepat untuk menikmati sunrise di tempat ini adalah disekitaran bulan Juni – Agustus, karena bulan tersebut merupakan musim kemarau.
Jika beruntung di waktu-waktu tersebut kita dapat menjumpai “embun upas” yang berupa embun yang mengkristal menjadi es akibat suhu yang sangat rendah.
Dari atas bukit Sikunir ini aku juga bisa menyaksikan kemegahan gunung Sumbing, Gunung Sindoro, dan juga Gunung Prau.
Sungguh luar biasa.
Mie Ongklok sekilas mirip dengan mie ayam, hanya saja mie ongklok tidak dilengkapi dengan daging ayam.
Kuahnya pun cukup unik karena dibuat kental. Kuah mie ongklok ini dibuat dengan campuran tepung aci. Di atas mie terdapat taburan daun kucai. Biasanya penyajiannya dilengkapi dengan tempe kemul atau pun sate.
Tempe kemul sendiri merupakan kuliner khas Wonosobo lainnya. Tempe kemul hampir mirip dengan tempe mendoan. Hanya saja tempe kemul ini digoreng sampai matang, sedangkan pada mendoan umumnya hanya digoreng setengah matang.
Kuliner ini lebih lezat saat disajikan dalam keadaan hangat.
Tanaman unik yang nyaris mirip dengan pepaya ini hanya bisa tumbuh dan berbuah di kawasan dataran tinggi Dieng. Dulunya aku mengira bahwa buah ini sama dengan pepaya, tetapi ternyata berbeda.
Secara fisik bentuk buahnya mirip dengan pepaya. Warna kulitnya hijau dan kuning.
Dari segi ukuran, carica ini lebih kecil dari pepaya. Saat buahnya masih mentah rasanya asam dan sepet.
Carica papaya ini biasanya diolah menjadi sirup dan manisan.
Warna manisan carica kuning, jika dikunyah daging buahnya kenyal dan rasanya manis. Sedangkan sirup carica rasanya manis sedikit asam.
Akan sangat mudah menemukan oleh-oleh khas Dieng di kawasan wisata Dieng.