Tiga kata untuk menggambarkan Jepang : petualangan, masa depan dan cinta.
Dua minggu berada di Jepang, sangat banyak pengalaman luar biasa yang saya dapatkan.
Orang Jepang asli menyebutnya Jinrikisha, sementara orang lebih mengenalnya sebagai rickshaw. Becak tradisional ini memiliki 2 roda besar setinggi dada saya, dan 2 kayu panjang menjorok kedepan sebagai bagian yang ditarik si pengendara. Becak ini memang ditarik, bukan dikayuh seperti di Indonesia.
Saya duduk dikursi menggunakan selimut merah, penarik becak saya adalah seorang laki-laki muda mengenakan baju biru dengan ikat kepala merah dikepalanya.
Harus saya akui, tenaganya luar biasa, dia terus menjelaskan tentang tempat-tempat wisata yang dilewati dengan lancar tanpa ngos-ngosan meski dilakukan sembari terus berlari. Sejujurnya saya tak terlalu jelas mendengar penjelasannya, yang saya ingat, setiap dirinya selesai menjelaskan, dia menengokan kepala ke belakang sembari tersenyum.
Saya tak ingat nama kuilnya. Ini bukan kuil populer di Jepang, hanya sebuah kuil didekat penginapan. Saya diantar oleh sahabat semasa SMA dulu yang kini menetap di Jepang.
Suasananya sangat romantis, angin bertiup perlahan. Hanya ada suara gesekan daun. Penerangan yang tersedia hanya sebuah lampu elektronik di bagian gerbang kuil. Di bagian dalam hanya ada lilin-lilin merah berpendar romantis.
Sahabat saya mengajak saya mengucap suatu permintaan. Suasana ini mengingatkan saya pada salah adegan-adegan di drama-drama Jepang.
Ternyata di Jepang pun terdapat tempat makan sejenis kuliner kaki lima di Indonesia, hanya saja di sini lebih bersih dan teratur.
Saya mencoba beberapa tusuk yakitori. Yakitori adalah sate ala Jepang. Disini kita bisa memilih daging apa yang akan dibakar. Saya memilih hati sapi dan daging ayam. Penjual berbaju putih dengan topi ala seorang chef menyiapkannya dengan cepat. Hal yang membuat rasa yakitori begitu khas adalah, daging dibakar menggunakan saus teriyaki.
Rasanya tak setajam sate di Indonesia yang banyak menggunakan bumbu, lebih soft dan agak asin, namun dagingnya sangat lembut. Hanya membutuhkan 2-3 kali kunyahan untuk langsung menelannya.
Harga yakitori sekitar 100 yen per tusuk.
Ini yang saya suka dari Jepang. Berada di negeri ini seperti berada di dunia beberapa puluh tahun mendatang.
Robot restoran ini terletak di tengah kota Tokyo. Hanya pengunjung berusia 18 tahun yang diperbolehkan masuk.
Di dalam ada beberapa robot wanita raksasa setinggi 2 kali lipat manusia dewasa dengan pakaian seksi. Suasana restoran sangat futuristik, lebih mirip game center dengan didominasi kerlap kerlip lampu berwarna-warni.
Menjelang malam parade robot ditampilkan untuk menghibur pengunjung. Hal yang menarik bagi saya, saya dapat ikut mengontrol pergerakan mereka. Luar biasa.
Lantai kamar saya menggunakan tatami berwarna kuning padi. Tatami adalah sebuah alas yang dibuat dari jerami yang ditenun, saat diinjak terasa sedikit empuk.
Pengelola memberi saya satu stel kimono berwarna pink dengan motif bunga-bunga putih. Sangat cantik. Saya diajak mengikuti sebuah upacara teh tradisional Jepang. Sejenak seperti terhisap dalam dimensi yang berbeda, sangat tenang, hiruk pikuk robot restoran sebelumnya langsung lenyap dalam pikiran.
Pemandian umum ini dikelilingi batu-batu besar disekililingnya. Air kolam terus mengepulkan uap panas. Airnya cukup keruh, menandakan tingginya kandungan mineral didalamnya.
Saat saya masuk beberapa wisatawan lain sudah berendam. Semua telanjang secara penuh, hanya mengenakan sebuah handuk putih diatas kepala yang digunakan untuk menutup bagian vital saat keluar kolam.
Beberapa sibuk mengobrol dengan kenalan baru, yang lain memilih duduk diam memejamkan mata menikmati “pijatan alami” air panas.
Setelah membersihkan dan membilas tubuh, saya mencelupkan kaki saya perlahan, baru kemudian seluruh badan. Diatas bintang-bintang bersinar dengan indahnya. Rasanya seperti di negeri dongeng, mandi air panas sembari menatap bintang secara langsung.