Tepat satu bulan yang lalu, saya bersama teman saya pergi mendaki ke Gunung Sindoro, yang letaknya di Desa Kledung, Temanggung, Jawa Tengah. Tentunya ini pengalaman yang menyenangkan bagi saya, selain pendakian pertama saya di Tanah Jawa, ini pun menjadi pengalaman kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Jawa – senangnya.
Niat saya ini berasal dari sindiran teman saya yang mengatakan, “Kamu nggak bosen mendaki gunung Jawa Barat mulu? Mending coba ke Jawa Tengah, ya minimal ke Sindoro. Kamu bakal ngerasain menikmati perjalanan yang jauh sekaligus mengenal orang – orang baru.”
Pagi yang dingin membuat para pengelola basecamp Sindoro, asyik ngopi sambil duduk di dekat tempat pembakaran sampah untuk menghangatkan badan.
“Pagi Mas,” Mereka menyapa lebih dulu.
“Pagi juga, wah asyik buat ngangetin badan.”
“Iya mas sini, gabung kita sambil ngopi nih.”
Saya menghampiri mereka, sekaligus meminta informasi tentang Gunung Sindoro. Kemudian, saya ditawari kopi hitam lagi “Ayo dong mas ngopi nih.”
Tanpa pikir panjang, saya sruput kopi hitam untuk menghargai tawaran orang tersebut, walaupun saya tidak suka kopi hitam.
“Nah gitu dong, biar akrab kita hehe” si mas pengelola tertawa menepuk pundak saya.
Perjalanan kami mulai dari basecamp Sindoro pada pukul 06.00 WIB dimana pada waktu tersebut, aktivitas warga dimulai. Karena daerah pendakian Sindoro merupakan daerah perkebuanan warga, tak heran kami sering berpapasan dengan warga yang bersemangat pergi ke kebun.
Dalam perjalanan sambil membawa beban tas yang berat, seorang warga lokal yang tengah bekerja di kebun menyapa ramah.
“Nanjak mas?” sambil tersenyum.
“Iya Pak” saya balas senyum.
Dalam hati berkata “alhamdulillah disambut baik oleh warga setempat.”
Sebuah basa-basi yang mulai ditinggalkan warga kota modern di Indonesia. Padahal sekadar menyapa seperti itu bisa membuat senang suasana hati orang lain. Warga lokal sebagai tuan rumah dan pendaki sebagai tamu paham, pentingnya saling menjalin hubungan baik.
Kembali ke malam sebelum pendakian, ketika di terminal, saya bertemu rombongan dari Purwokerto. Kami sudah saling berhubungan sebelumnya untuk mendaki bersama.
Jujur saya dibuat bingung dengan rombongan Purwokerto itu. Pasalnya sepanjang pendakian, mereka menggunakan bahasa Jawa dengan sesama rombongannya. Saya hanya tersenyum saja dengan teman saya yang sama-sama berasal dari sunda. Ketika saya berbicara dengan teman saya menggunakan bahasa sunda, mereka pun terlihat bingung dan melakukan hal yang sama seperti kami, hanya tersenyum saja.
Di dalam tenda pun demikian, mereka berbicara dengan bahasa Jawa dan saya tidak mengerti sama sekali, saya hanya memandang mereka berbicara seolah-olah saya mengerti dan melarutkan diri dalam pembicaraan tersebut. Karena penasaran ketika mereka berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa, saya sering menimpal untuk menanyakan artinya. Misalnya usai diantara mereka berbicara, saya bertanya,
“Kalau ‘turu’ itu apa artinya aya?”
“‘turu’ itu tidur, Mas” tukas Adam – Purwokerto.
Dan hal yang mereka lakukan pun sama, yaitu menanyakan arti dari salah satu kata bahasa Sunda. Misal ketika saya sedang mengobrol dengan teman saya,
“Rek ka sumbing keun moal?”
Kemudian Adam bertanya,
“Kalau ‘moal’ itu apa artinya mas?”
“Moal itu nggak” jadi artinya itu, “Mau lanjut ke Sumbing nggak?”
Saling mengenal bahasa sekaligus belajar bahasa itu menyenangkan.
Berada di gunung, mau tak mau kita harus saling menyapa dengan pendaki yang lainnya.
Misal ketika kami mendirikan tenda di pos 3 Sindoro. Untuk mengawali percakapan dengan rombongan lain biasanya kita akan menggunakan pertanyaan klasik seperti ini.
“Dari mana, Bang?” mereka bertanya lebih dulu.
“Saya dari Bandung, abangnya darimana?” balas saya.
“Saya dari Jakarta.”
“Oh Jakarta.”
Dan biasanya lanjutan dari pertanyaan tadi yaitu,
“Udah pernah trip kemana aja? Kapan-kapan kita trip bareng yuk bang? Coba minta nomor handphone nya bang.”
Walau kami berasal dari bahasa, daerah, serta budaya yang berbeda, kami tetap memiliki satu tujuan sama, sampai ke puncak sama-sama dan pulang dengan selamat. Karena kami manusia Indonesia yang menjunjung tinggi kebersamaan. Dan kita pun haruslah bangga dengan adanya perbedaan di Indonesia, karena dengan perbedaan tersebut kita menjadi dipersatukan.