“Eh, lusa mau ke Singapura ya? Oleh-oleh dong, titip parfum merek X di jalan Y, ya!” seru Mawar , begitu tahu rencana Bunga—akan berlibur sejenak menghabiskan cuti tahunan.
Saya mendengar kata-kata Mawar dari balik kubikel kerja, begitu pun seisi kantor yang kemudian ikut menimpali. “Iya dong, oleh-olehnya jangan lupa, ya!”
Belum sempat Bunga menjawab, tahu-tahu Bu Dahlia, atasan kantornya, datang membawa selembar kertas berisi rincian barang-barang titipan, mulai dari tas merek terkenal, hingga satu set pakaian—sambil menyerahkan nominal uang “kira-kira” untuk membayar keseluruhan daftar barang titipan.
Segan menolak, terpaksa diterimanya “todongan” oleh-oleh itu. Pada jam istirahat, saya mendengarkan Bunga berkeluh-kesah tentang todongan oleh-oleh itu. Apalagi ia hanya punya cuti sebentar. Sambil membawa kertas berisi itinerary, ia buru-buru merombak itinerary yang ia buat hanya untuk menyisipkan jadwal berburu oleh-oleh di tengah aktivitasnya yang padat. Belum lagi, budget-nya pun pas-pasan.
***
Tidak semua orang suka dititipi oleh-oleh. Memang, bagi sebagian orang—khususnya saya sendiri—sudah “wajib” hukumnya membeli cinderamata sebagai kenang-kenangan untuk dibawa pulang. Akan tetapi, mayoritas hanya berupa oleh-oleh yang sifatnya insidental, artinya ditemukan secara tidak sengaja, atau kebetulan lewat. Itu pun biasanya saya beli untuk orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman, atau bila budget berlebih, untuk teman kantor. Sayangnya, tak hanya sekadar basa-basi, bagi beberapa orang, budaya menitip oleh-oleh sudah jadi bentuk “penodongan” yang membebankan.
Karenanya, ke manapun saya pergi, saya terbiasa tak serta-merta berjanji dan mengiyakan permintaan oleh-oleh. Begitupun jika ada teman yang bepergian. Ketimbang menodong oleh-oleh yang bisa jadi membebankannya, bukankah lebih baik jika saya ikut senang dan mendoakannya agar tetap selamat hingga perjalanan pulang? Urusan oleh-oleh urusan belakang. Diberi oleh-oleh, syukur, tidak diberi, ya sudah—sebab menurut saya oleh-oleh bukanlah sesuatu yang diwajibkan.
Mengapa? Bukankah budaya saling memberi oleh-oleh itu baik? Saling memberi memang baik, namun ada beberapa alasan, mengapa membeli oleh-oleh bukanlah suatu kewajiban;
Tidak semua orang bepergian untuk liburan dan bersenang-senang. Ada keperluan kerja yang harus dilakukan, bahkan urusan agama, seperti ibadah haji. Bagi yang tidak siap, menyisipkan jadwal “berburu oleh-oleh” di tengah-tengah keperluan, hanya akan merusak tujuan awal.
Saya pernah mendengar cerita seorang teman yang sedikit kesal, karena tidak mampu fokus bekerja lantaran harus pergi ke suatu tempat untuk mencari oleh-oleh titipan. Ironisnya, ia baru sadar bahwa tempat itu sangat jauh dari hotel tempatnya menginap.
Nah, untuk yang satu ini, ada baiknya identifikasi lagi apa tujuan kita bepergian dan fokuslah pada hal itu. Ingat, oleh-oleh memang sebuah bentuk “budaya berbagi” yang baik, namun kita tidak wajib melakukannya.
Kecuali kita memang punya berkelimpahan dana untuk membeli oleh-oleh, jangan langsung mengiyakan “todongan” oleh-oleh dengan alasan “tidak enak”. Tetapi jika bagi sebagian orang “wajib” hukumnya membeli oleh-oleh, kita bisa memilah dan mempertimbangkannya lebih dahulu. Rincilah siapa orang yang harus dibelikan oleh-oleh, apakah itu keluarga, pacar, atau teman dekat.
Bila dari awal kita memang sudah berniat membelikan oleh-oleh untuk semua orang di sekitar, sebaiknya pilih jenis oleh-oleh yang tidak membebankan. Biasanya saya hanya membeli barang-barang kecil yang murah dan ikonik, semisal gantungan kunci, kartu pos, magnet kulkas, atau camilan khas, seperti keripik dan cokelat. Perhitungkan juga biaya bagasi tambahan yang harus kita bayar apabila barang bawaan melebihi batas.
Sebagian orang memang akan dengan mudah mencap kita pelit. Tetapi, jangan takut. Tanamkan pada diri, bahwa kita hanya belajar menjadi hemat dengan memilah-milah mana barang yang diperlukan, dan mana yang tidak. Manfaatkan uang dengan bijak. Syukur-syukur, bisa menjadi tambahan modal untuk rencana perjalanan selanjutnya.
Dalam beberapa rangkaian acara bepergian, saya sendiri tak pernah menghabiskan banyak waktu untuk mencari oleh-oleh. Oleh-oleh hanya dibeli jika kebetulan sedang mampir atau melewati si penjual cinderamata. Jangan lupa bahwa kita juga terkendala waktu yang terbatas, semisal jatah cuti kantor yang hanya bisa diambil selama beberapa hari saja. Alih-alih bersuka cita saat liburan dengan mengunjungi banyak tempat, jangan sampai yang saya lakukan hanya sibuk memenuhi daftar oleh-oleh buat si “penodong”. Membeli sepatu jenis A di toko B, membeli perhiasan perak di kota C, kemudian pindah ke jalan D untuk membeli gadget titipan hingga kita lupa, kita pun punya daftar tujuan tempat yang ingin dikunjungi.
Seorang teman bercerita bahwa ia hampir tertinggal kereta pulang, lantaran rekan perjalanannya sibuk berburu oleh-oleh di jalan Malioboro. Saya sendiri—pernah akan ketinggalan bus pulang gara-gara harus menunggu teman saya mencari asinan Bogor di toko A—harus di toko A—untuk ibunya dan seorang teman kantor yang katanya sedang ngidam.
Memang sih, si penitip mungkin menganggap: mumpung kita sedang ke negara X atau kota Y. Tapi coba pikirkan, mumpung kita sedang berada di negara X, dan kemungkinan kecil kita akan kembali lagi ke sana, bukankah waktu yang ada seharusnya dihabiskan untuk berkeliling dan mengeksplorasi sampai puas?
Membeli oleh-oleh atau memenuhi titipan barang yang jumlahnya kecil dan sedikit memang bukan perkara merepotkan. Tapi bagaimana bila kita harus memenuhi titipan yang ribet, jumlahnya besar dan berkilo-kilo beratnya? Titipan gadget misalnya, yang mengharuskan kita justru berhadapan pada persoalan imigrasi dan bea cukai yang cukup merepotkan.
Coba tanyakan hal ini pada diri sendiri: di tengah jadwal kunjungan yang padat, maukah kita menenteng-nenteng kardus atau membawa kantong plastik berisi barang belanjaan yang merepotkan? Atau bila sedang diburu-buru waktu dan hampir tertinggal pesawat dalam perjalanan pulang, bisakah kita membayangkan betapa lelahnya berlari-lari sambil membawa koper berisi barang titipan?
Saya sih, tidak.
Saat traveling, apalagi ke tempat yang akan sulit kita kunjungi lagi dalam waktu dekat, secara tak sadar kita akan memaksa diri untuk mendatangi, mencicipi kuliner atau mengeksplorasi pengalaman baru di beberapa tempat sekaligus, dalam satu hari. Karena aktivitas yang padat, istirahat sejenak di sela-sela hari atau tidur cukup di malam hari adalah hal penting.
Seorang teman mengeluhkan kakinya yang sakit saat di hostel, lantaran seharian berjalan kaki hanya untuk mencari oleh-oleh buat si A. Sambil bermuka payah, ia melontarkan kata-kata dengan nada menyerah, “kalau sampai besok begini lagi, aku nggak sanggup deh.”
Sambil memijit kecil, saya terus menyemangati dan meyakinkannya bahwa, ia tidak harus memenuhi semua daftar titipan. Jangan sampai ia justru kelelahan karena waktu dan tenaga banyak dihabiskan untuk mencari oleh-oleh di pasar tradisional, penjual kaki lima, atau mal.
Ingatlah kurang istirahat atau bahkan sakit selama traveling bisa dengan mudah menghancurkan rencana liburan idaman yang sudah kita buat jauh-jauh hari, lho. Apakah siap rencana liburanmu rusak hanya karena titipan oleh-oleh?