‘Sendiri’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti : ‘tidak dengan orang lain, tidak dengan orang yang anda kenal sebelumnya.’
Sendiri itu sepi, menakutkan, dan membosankan. Iya memang, tetapi semua itu dapat dilawan.
Sekali-kali merdekalah. Saya telah mencobanya, ‘menyendiri’ dalam rentang waktu tertentu beberapa waktu lalu. Hasilnya tak sia-sia, Gunung Lawu menjadi saksi kesendirian saya yang mengasyikkan dan menjadi candu yang menyehatkan bagi jiwa raga saya.
Saya menemukan teman baru!
Sore itu, saya bertemu Mas Sofyan dan kawan-kawan dari Tangerang, Jogja, Bali dan Kalimantan. Kami bertemu di pos 2 saat mereka akan mendirikan tenda. Dengan ramah mereka menyapa, dan bahkan menawarkan bermalam di tenda mereka saja. Tapi karena hendak langsung menuju ke pos 5, saya putuskan untuk segera melanjutkan perjalanan menuju Warung Mbok Yem.
Kami pun bertukar kontak nomor telepon. Mereka mengajak saya bertemu di Jogja, untuk sekedar ngangkring dan ngopi nanti setelah perjalanan Lawu ini terselesaikan.
Melakukan pendakian seorang diri seperti ini, layaknya menyederhanakan sesuatu yang rumit. Serasa menemukan benua baru membentang.
Tempat baru, teman dan pengalaman yang dapat kita eksplorasi sekehendak kita. Saya bak Columbus yang menemukan Amerika ataupun tokoh Indiana Jones dalam film.
Hampir setengah perjalanan, senja menyambut. Antara pos 3 dan pos 4 diatas batuan agak landai, 2 orang pendaki lain sedang beristirahat. Seorang bapak kira-kira beumur 50 tahun dan mungkin keponakannya berumur 30 tahunan.
Daripada duduk sendiri, saya memilih duduk di dekat mereka.
Saya mengeluarkan air minum dan sebungkus coklat yang telah saya bawa. Saya sapa bapak tua itu, sembari menawarkan potongan cokelat. Ia ambil 2 bagian, satu untuknya satunya lagi untuk keponakannya.
Tiba- tiba si Bapak tua bertanya.
‘Apa yang kamu rasakan saat naik gunung, dek?‘ bapak tua menggunakan sapaan ‘dek’ dengan logat khas Jawa.
‘Capai Pak,’ jawab saya.
Tentu bukan itu yang ia harapkan dan sebenarnya bukan itu saja yang saya rasakan.
Saya lanjutkan dengan segera, ‘Saya belajar sabar, tidak egois, pemaaf, banyak bersyukur dan tidak sombong,‘ hanya kata-kata sifat saja yang saya ucapkan.
‘Gunung itu kalau kamu perhatikan, ia itu berfilsafat Dek. Ia agung, ia nampak besar dengan bentuknya. Tapi ia tidak sombong meskipun hanya ia yang besar seorang diri. Lihat kan dengan kebesarannya ia memberkahi yang sekitarnya? Didalam dan dibawahnya?‘.
Sambungnya, ‘Apa gunanya naik gunung Dek kalau hanya ambil indahnya saja, jika tak sekalian ambil hikmahnya?’ ujar bapak tua yang sudah 4 kali mendaki Gunung Lawu ini.
Saya hanya membalas dengan senyum. Sambil menyalakan rokok, saya pandangi sore yang menguning malu tertutup remang awan yang menghalangi indah sempurnanya.
‘Saya permisi jalan duluan pak, sudah hampir gelap, kebetulan nggak bawa tenda. Takut nggak kebagian tempat nanti di Mbok Yem.’
Kebetulan saat itu pendakian sedang ramai dan besoknya akan iadakan ritual purnama. Ia mempersilahkan dan bilang, ‘Sampai bertemu lagi.’
Hingga akhirnya tak pernah bertemu lagi, entah ia camp dimana.
Saya belajar sesuatu di pendakian ini. Mendaki gunung adalah perjalanan suci seorang manusia yang ingin terus belajar, tempat belajar paling mengasyikan— bukan menjadikannya sekadar hobi atau gengsi semata.
Sekitar jam setengah tujuh malam saya sampai dengan selamat di Warung Mbok Yem. Mengambil tempat tidur, memesan kopi dan makan pecel, membaca buku sebentar dan tidur untuk bangun lagi tengah malam, menyaksikan bulan purnama.
Asyik bukan? Berjalan seorang diri berteman musik, buku, orang asing dan kopi? Potongan lagu Micheal Schenker – Nightmare mengalun di telinga, ‘dreamer always alone, lost in a part of myself..‘
Saya merasa sangat beruntung dengan semua pengalaman ini. Saya berkesempatan merasakan agungnya ilmu universitas alam raya, ilmu Tuhan yang dinamakan hikmah.
Bekal untuk hidup di dunia nyata dimana semua penuh dengan ketidakpastian. Jadi, tak perlu banyak berpikir untuk melakukannya, lakukan sesegera mungkin.
Ada yang bilang, ‘something later become never’.