Hampir setiap rumah tradisional yang saya lihat di sepanjang jalan dari Phnom Penh menuju Siem Reap dilengkapi dengan hammock. Hammock terpasang di bagian bawah rumah di antara tiang-tiang kayu penyangga rumah. Karena rumah adat Kamboja sangat mirip dengan rumah panggung, jadi penduduk setempat memanfaatkan ruang di bawah bangunan utama untuk memasang hammock.
Berbeda dengan tuk-tuk yang ada di Thailand, tuk-tuk Kamboja terlihat lebih klasik. Bentuknya menyerupai gerobak yang ditarik motor. Sebuah tuk-tuk muat hingga 6 penumpang bahkan lebih.
Ketika menginjakan kaki di Kamboja, mata saja tertuju pada benda bernama “hammock”. Tak hanya terpasang di halaman rumah, namun hammock juga kerap terpasang di tuk-tuk sebagai tempat untuk istirahat.
Di Indonesia, tukang ojek biasanya pakai rompi atau helm sebagai penanda. Nah, kalau di Kamboja pakaian mereka sama saja seperti warga lokal biasanya. Kalau Kamu lihat ada bapak-bapak atau mas-mas lagi duduk di atas motor di pinggir jalan, bisa jadi dia tukang motodop (ojek). Mereka paling gampang ditemui di tempat-tempat umum seperti bandara, terminal bus, pasar, atau sekitar hotel.
Kata teman saya yang asli warga Kamboja, keranjang yang diletakan pada motor merupakan bagian dari identitas. Bisa dibilang, motor berkeranjang di depan merupakan salah satu ciri khas kebudayaan di Kamboja.
Jika di Indonesia, kita mengenal singkatan sebagai penanda asal daerah kendaraan tersebut. Misalnya, simbol B untuk Jakarta, F Bogor, atau D Bandung. Nah, sedangkan di Kamboja, nama daerah atau kota asal kendaraan tersebut ditulis dengan lengkap dalam tulisan latin atau pun huruf Kamboja.
Nama-nama Phhoung, Pheakdeai, atau Chantrea sangat sulit diucapkan terutama oleh lidah Eropa. Agar mudah dipanggil dan diingat, para pekerja wisata seperti supir tuk-tuk atau pemandu wisata mengubah nama lokalnya menjadi nama yang mudah diucapkan.
Misalnya, supir tuk-tuk yang saya naiki memperkenalkan dirinya dengan nama SAM. Sedangkan nama aslinya adalah Pheakdeai. Atau tukang motodop (ojek) yang bernama asli Koung Keuy memperkenalkan dirinya dengan nama Kingkong.
Uang dollar tidak hanya berlaku di daerah wisata saja lho. Warga lokal pun juga banyak yang menggunakan dollar Amerika. Jadi, misalnya kita membayar dengan USD, maka uang kembalian yang diberikan kepada kita berupa uang riel. FYI, 1 USD setara dengan 4000 riel. Bahkan, ada toko yang mau menerima uang baht Thailand.
Di tengah panas teriknya kota Phnom Penh, Kamu masih mudah menjumpai kereta pengangkut barang-barang gerabah yang ditarik oleh dua ekor sapi. Dulu, Indonesia pun pernah mengalami masa-masa ini. Namun, sekarang sepertinya hal ini sudah sangat jarang dijumpai.
Saya pikir, makanan-makanan unik itu hanya sebagai kuliner penarik wisatawan yang hanya dijual di daerah wisata. Ternyata, di daerah yang jauh dari tempat wisata pun menjual makanan unik itu. Warga lokal pun juga sangat menyukai cemilan ini. Setelah mencicipi, ternyata rasanya enak!
Satu kantong plastik jangkrik goreng dihargai sebesar 1000 riel. Sedangkan 1 ekor tarantula goreng dijual seharga 2000 riel.
Memang tidak semua, tapi saya sedikit terkejut ketika memasuki pemeriksaan di bagian imigrasi Phnom Penh, Kamboja. Salah seorang oknum petugas imigrasi tanpa sungkan meminta uang tip kepada saya. Ternyata bukan saya saja yang mengealaminya. Teman saya pun mengalami hal serupa.
Di Indonesia, saya belum pernah mencicipi olahan makanan yang berasal dari batang bungai teratai. Mungkin karena di Kamboja terdapat banyak bunga teratai, warga setempat pun memanfaatkannya menjadi olahan masakan. Ketika di Kamboja, saya sempat mencicipi mie kuah yang isinya berupa bihun, potongan batang teratai, timun, mangga, pepaya mentah, kacang panjang mentah. Bagaimana dengan rasanya? Enak, tapi lebih enak mie ayam di Indonesia.
Hal ini mungkin dikarenakan cuaca Kamboja yang sangat panas ketika musim kemarau. Jadi, banyak anak-anak, tua muda, wanita atau pun pria mengenakan topi. Nah, topinya pun beragam. Dari sekian banyak jenis topi, topi bambu seperti yang dikenakan dua anak laki-laki di atas lah yang menjadi topi khas Kamboja.
***
Indonesia memang masih kalah modern dari Malaysia dan Singapura. Tapi, setelah mengunjungi Kamboja, saya bersyukur telah lahir dan tinggal di Indonesia.