Menghabiskan quality time dengan cara traveling bersama sahabat terdekat adalah ide yang terlintas dibenak saya untuk menghabiskan liburan musim panas. Wakatobi adalah satu-satunya destinasi pilihan yang manjadi ego saya.
Segelintir keinginan untuk menyambangi dunia bawah laut paling indah di dunia. Ratusan jenis koral, ribuan spesies ikan, dan gugusan terumbu karang, siapa yang dapat menolak surga dunia seperti ini. Pekatnya bau garam, angin laut yang lengket di kulit, takaran cahaya matahari yang pas, dan ruas-ruas cahaya yang menembus alam bawah laut, hanya satu kata yang ingin saya ucapkan untuk semua orang, “kalian harus menjamahnya sebelum tutup usia”.
Rencana memang tak selalu berjalan mulus. Respon dari orang yang saya sebut sahabat terlalu cepat, belum sempat menyelesaikan deskripsi mengenai Wakatobi, ia sudah memotong pembicaraan.
“Aku nggak bisa berenang, cari destinasi lain saja”, sebuah respon yang cukup mengacaukan ekspektasi liburan di sana. Bagi seorang yang hanya mendengar desas-desus tentang Wakatobi, mungkin “menyelam” hanyalah satu-satunya kegiatan yang dapat dilakukan, padahal ada banyak hal yang bisa dilakukan selain menyelam bagi kamu yang tak bisa berenang.
Berikut hal-hal yang bisa kamu lakukan saat berada di Wakatobi jika kamu bukan seorang perenang;
Sejarah bukanlah mata pelajaran yang saya suka, tapi pasti ada sesuatu yang bisa dinikmati dari penggalan sejarah. Benteng Patua, salah satu yang bisa dinikmati hingga saat ini.
Cobalah berdiri di bangunan benteng paling tinggi, posisi yang cukup strategis untuk memanjakan mata melihat hamparan Laut Banda, deretan Pulau Runduma, Pulau Wangi-Wangi, dan Pulau Keludupa.
Seandainya saya hidup pada masa kejayaan Kerajaan Buton, pasti saya dapat melihat lalu lintas bajak laut seperti dalam film “Pirates of The Carribean”.
Duduk bersantai di teras rumah panggung, mencicipi cumi-cumi bakar sambil mencelupkan mata kaki di air laut, serta bercengkrama dengan ibu-ibu suku Bajo adalah makan siang terbaik yang akan kamu rasakan di sana.
Berkunjung ke desa Suku Bajo akan membuatmu tertegun secara tiba-tiba. Kemampuan survive di atas laut hanya dengan mengandalkan kayu sebagai tempat tinggal dan perahu sebagai transportasi utama patut diacungi jempol.
Pola pikir “belum makan kalau belum makan nasi” harus dihapus ketika kamu berkunjung ke Wakatobi. Di sini kamu bisa menikmati Kasuami, makanan pokok pengganti nasi. Bentuknya menarik, seperti tumpeng, tapi dalam bentuk mini dan terbuat dari ubi jalar yang diparut. Rasanya gurih dan padat di mulut, satu Kasuami cukup untuk memenuhi perutmu.
Jangan lupa pula untuk menikmati Ikan Parende. “Ikan Parende Cuma ada di Wakatobi, tambahlah yang banyak” ucap salah seorang ibu dengan lilitan kain di kepalanya. Pada dasarnya Ikan Parende dimasak seperti sup ikan, rasa bawang putih dan kunyit cukup kuat dan mantap.
Menikmati tarian tradisional memang keren, tapi kamu akan tampak lebih keren lagi jika turut mempelajarinya. Menjadi bagian dari kesepuluh gadis dalam tarian Lariangi akan membuatmu tertular akan kecantikan mereka.
Dahulu tarian ini digunakan untuk hiburan dalam kerajaan, tapi kini bergeser menjadi pertunjukan seni yang dapat dinikmati berbagai kalangan. Uniknya lagi, kamu tak hanya bisa menari, tapi juga sembari bernyanyi.
Sekedar duduk-duduk sendiri menikmati gradasi warna sinar sunset. Suara deburan ombak, hangatnya matahari, hamparan laut dan pemandangan pelabuhan adalah suasana yang sempurna untuk menikmati kesendirian.
Berjalan telanjang kaki di atas pasir putih dengan gaun pantai dan kacamata hitam, tak buruk untuk dilakukan di Pantai Molii Sahatu. Suasana sepi cocok untuk memaksimalkan mengambil foto. Tapi cobalah perhatikan mata air yang berada di sekitaran pantai. Terdapat mata air yang keluar dari dalam laut, anehnya air yang keluar tak terasa asin sedikitpun, melainkan terasa tawar.
Jika sebagian orang asik untuk menyelami bawah laut, kamu bisa lebih dari sekedar duduk-duduk. Coba tengok pemandangan bawah laut, dengan jelas kamu bisa melihat karang dan rumput laut yang bergoyang-goyang terkena arus.
Kamu bisa membantu para nelayan memanen rumput laut dan turun tangan mengolahnya menjadi makanan lezat dan minuman yang segar.
Melancong ke Pulau Binongko, tak lengkap rasanya jika tak menelusuri hutan mangrove yang sangat luas. Tak hanya sekedar hutan mangrove biasa, penduduk lokal setempat menjadikan hutan mangrove tersebut sebagai hutan adat yang dikeramatkan sejak ratusan tahun lalu.
Tak bisa bertindak sembarangan, larangan menebang dan mengambil kayu. Sore hari menjelang mata hari terbenam adalah waktu yang pas untuk menjamah hutan adat ini.
Hamparan laut, pelabuhan, pemukinam Suku Bajo, hingga perkebunan, semua bisa kamu lihat hanya dalam sekali pandang dari atas mercusuar peninggalan colonial Belanda di Pulau Wangi-Wangi. Tak perlu khawatir runtuh, kekokohan mercusuar ini tak perlu diragukan.
Di Wakatobi terdapat tradisi unik, penduduk lokal dan wisatawan dapat berbaur dengan hangat, bercengktama, melepas tawa, dan bergotong royong menghias kapal sebelum diarak mengelilingi pantai sambil menabuh gendang.
“Semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kami selepas mengarak kapal, amiin” ucap salah seorang bapak bertopi dengan kaos putih tipis yang tak sengaja saya dengar.
Cap Wakatobi sebagai dunianya bagi para penyelam dan surganya alam bawah laut memang tak salah, tapi bagi para wisatawan non-penyelam juga bisa menikmati berbagai keindahan alam dan budaya. Tak ada istilah “rugi ke Wakatobi kalau tak menyelam”, justru orang yang merugi adalah orang yang tak memiliki keinginan untuk menjamah surga firdausnya Indonesia.