Traveler, sukakah Anda ke desa? Jawabannya pasti bermacam-macam. Dari jawaban yang bermacam-macam itu, pasti ada yang semacam dengan saya, yaitu jawaban suka ke desa. Iyalah saya suka desa. Saya memang ndeso. Sebab desa itu memiliki akar yang kuat di jiwa saya. Meski saya lahir dan besar di Kota, Palembang, tapi desa di mana nenek moyang saya pertama muncul menjejak begitu kuat di jiwa. Sejatinya, tak seorangpun bisa menepis akar di mana jejak asal muasal pertamanya tumbuh.
Kemanapun saya melangkah, desa seperti selalu melambai-lambai mengajak saya datang.Dan entah kenapa desa-desa kadang seperti membuat saya merasa suasananya akrab dan seperti berdejavu seolah pernah ke sana, meski saya tak pernah ke desa itu.
Sekali waktu orang bertanya kepada saya, jika liburan tiba, desa manakah yang paling ingin saya datangi? Saya jawab desa di Banten Dalam, desa di Wakatobi, desa di Raja Ampat, wew. Seandainya ada kesempatan, saya memang ingin kesana. Tapi desa apapun dan di mana pun, entah mengapa buat saya auranya hampir sama. Aura damai, hangat, salam segar dan suasana akrab.
Jika Wakatobi dan Raja Ampat terlalu jauh, kenapa harus tetap keukeuh ke sana? Ya desa yang dekat saja. Desa sekitar.
Beberapa waktu lalu saya berangkat ke desa bersama teman-teman. Kebetulan ada hal yang sedang dikerjakan. Perjalanan ke beberapa desa di sebuah Kabupaten di Sumatera Selatan. Desa yang memiliki sungai dan rawa luas. Kebun karet luas. Warga desa yang bicaranya tegas tapi ramah. Anak-anak tersenyum lebar dengan wajah mengkilap karena bercampurnya keringat dan debu jalanan. Warga desa yang tabah meski kondisi jalan tak beraspal bahkan memunculkan lubang besar yang menganga. Para perempuan perkasa yang pergi menyadap karet di pagi buta. Ah, sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Sampai di sana, saya tercenung. Betapa kita sering memanjakan diri melanglang buana kemana-mana sedang desa-desa di sekitar kita butuh perhatian tidak kita datangi. Perlulah sesekali datanglah ke desa. Jika datang biasa tidak ada gregetnya, tidak menarik, anggaplah ia sebuah perjalanan wisata. Sebagaimana sebuah perjalan wisata tentu saja untuk melupakan rutinitas, menyegarkan jiwa dan membuat bahagia.
Jadi, cobalah berwisata ke desa. Tidak harus ke desa yang sudah ditetapkan sebagai desa wisata. Desa mana saja yang Anda suka. Jika desa wisata memang sudah disiapkan segala sesuatunya (amenitas, transposrtasi, penginapan, dll) dan nyaman sekali, maka wisata ke desa biasa tak kalah menarik.
MeIihat desa adalah seperti melihat gambaran mayorritas bangsa kita sendiri, bagaiman kita dan akan ke mana kita ke depan. Sebab sebagian besar penduduk Indonesia hidup di desa. Lebih dari 50 % penduduk Indonesia mata pencahariannya adalah petani yang notabene hidup di desa. Berdasarkan data BPS, pada September Tahun 2015 prosentase penduduk miskin Indonesia adalah 11,13%. Dari angka tersebut, prosentase penduduk miskin perdesaan jumlahnya lebih banyak yaitu sebesar 14,09% dibandingkan prosentase penduduk miskin perkotaan yang sebesar 8,22%.
Itulah beberapa alasan kenapa desa seharusnya kita perhatikan. Di sana mata kita akan terbuka, begitulah kondisi sebagian besar saudara-saudara kita. Hidup di desa barang beberapa hari itu membuat jiwa hangat (pegang hp sosmed-an terus nggak bosan apa?).
Apa saja yang menarik dari desa? Banyak. Semakin besar atensi traaveler pada kehidupan, makin banyak hal yang menarik dari desa.
Ada setidaknya 5 alasan kenapa wisata ke desa itu menarik buat saya. Berikut alasannya
Hanya desa yang udaranya masih segar, bebas dari polusi. Kota sudah sarat polusi dari kendaraan dan polusi dari industri. Desa memiliki suasana khas. Aura akrab, dekat satu sama lain masih kuat di desa
Banyak desa yang terkenal dengan pemandangannya. Desa yang tidak terkenalpun sebetulnya banyak memiliki pemandangan indah seperti gunung, sungai, arsitektur rumahnya dan lain-lain.
Banyak desa yang terkenal dengan budaya dan adat istiadatnya, misal Desa Penglipuran di Bali yang terkenal dengan adat istiadat serta kerukunan dan kebersamaannya, Desa Pallawa di Toraja yang terkenal dengan tradisi nenek moyang suku Toraja dan terkenal dengan tongkonan (Rumah adat Toraja)nya. Desa-desa di Sumatera Selatan memiliki sastra tutur dan budaya lisan yang terkenal Seperti Seni Syair Batang Hari Sembilan, Kisah si Pahit Lidah dan lain sebagainya.
Desa itu menarik bagi saya lebih karena petualangannya. Perjalanan ke desa tak jarang penuh petualangan juga penuh tantangan karena lokasinya yang jauh, terpencil dan minim infrastruktur dan sarana transportasi
Tiap desa menarik karena memiliki kondisi dan potensinya yang berbeda-beda. Buat saya adalah menarik melihat potret desa berdasarkan kondisi, permasalahan yang ada hingga bisa dipikirkan rekomendasi apa yang tepat untuk desa tersebut.
***
Saya suka memandangi rumah panggung di desa yang saya kunjungi. Warna cokelat tua rumah karena kayu asli yang tidak dicat itu mempesona buat saya. Makin kelam warna kayunya, makin keren. Saya suka memandangi luasnya sungai dan rawa di desa yang mungkin saja tidak menarik bagi orang lain. Sebab sungai dan rawa adalah sumber protein hewani yang mumpuni di desa dari ikan-ikan yang dihasilkan (gabus, lain, betok, sepat, dll), selain sebagai alat transportasi.
Di desa yang saya kunjungi, setiap saat saya menemukan bocah-bocah baik perempuan dan laki-aki menjanjakan ikan hasil tangkapan orang tua mereka dari sungai/rawa yang ikanya dirangkai dalam lidi/tali jerami membentuk untaian. Saya menemukan suasana hangat ketika melihat para anak-anak dan nenek-nenek duduk di pance (tempat mengaso/mengobrol yang dibuat dari bambu dimana hampir setiap halaman rumah memiliki pance). Saya melihat perempuan perempuan perkasa yang tabah, tak hanya mengurusi urusan domestik seperti memasak, mencuci dan mengurus anak, mereka juga turun ke sawah dan kebun, bahkan tak sedikit yang ikut menjala ikan. Hidup yang sederhana, tapi tabah dan senyum selalu mengembang. Betapa bersahaja hidup mereka.
Begitulah. Jika aktivitas hari-hari adalah layar laptop, layar tablet, menghadiri meeting/rapat, mengerjakan laporan, membuat nota dinas ke atasan, membuat audit keuangan, bekerja sebagai administrasi, di restoran, di rumah sakit, dan lain sebagainya. Sepulang kerja atau hari libur hanya hangout ke cafe, nonton di bioskop, ke mall dan lain sebagainya. Maka, sesekali bolehlah wisata ke desa.
Manfaat untuk diri sendiri? Jelas banyak. Selain menambah kepekaan, memberi pelajaran hidup, mendatangkan duit juga bisa. Lihatlah para presenter, penulis traveler dan fotografer alam yang kondang, apa yang mereka tulis dan mereka bidik sebagian besar adalah sebuah pemandangan di desa. Lihatlah Ebbie Vebri Adrian sang fotografer, Dea Sihotang, Riyanni Djangkaru dan lain sebagainya, profesi mereka membuat mereka sering traveling ke desa-desa.
Berwisata ke desa, mengapa tidak? Jangan takut dibilang ndeso. Yup, biarlah selera ndeso yang penting pikiran jadi bertambah luas, happy dan mendapat hikmah serta manfaat dari traveling yang dilakukan. Salam.