Sudah menyaksikan film Everest yang diputar di bioskop pada 2015 silam? Film yang menceritakan kisah nyata insiden pendakian paling mematikan di Puncak Everest 1996 ini ternyata tak semengerikan kisah nyatanya.
Kisah suram yang merenggut 8 nyawa pendaki ini benar-benar membawa duka yang mendalam. Salah seorang korban yang masih selamat, Jon Krakauer yang juga seorang penulis buku Into Thin Air sempat mengalami trauma pasca kejadian. Dia mengatakan, mendaki Everest adalah kesalahan terbesarnya.
“Climbing Mount Everest was the biggest mistake I’ve ever made in my life. I wish I’d never gone,” kata Jon Krakauer dalam wawancaranya dengan Huffingtonpost dalam artikel berjudul on Krakauer Says Climbing Mount Everest Was The ‘Biggest Mistake’ Of His Life”,
Korban selamat lainnya adalah pendaki amatir Lou Kasischke. Dalam wawancaranya dengan The Sun, Lou Kasischke menyalahkan persaingan yang terjadi antara tim ekspedisi yang menjadi penyebab tragedi mematikan tersebut.
Awal mula bencana Everest 1996 ini terjadi ketika empat kelompok pendaki berangkat ke puncak Gunung Everest pada waktu yang hampir bersamaan. Kelompok-kelompok tersebut adalah Adventure Consultants yang dipimpin oleh Rob Hall, Mountain Madness dipimpin oleh Scott Fischer, tim ekspedisi dari Perbatasan Indo-Tibet Police, dan satu lagi tim yang berasal dari Taiwan.
Saat itu, Lou Kasischke mendaki gunung secara komersial bersama perusahaan ekspedisi Adventures Consultants yang dipimpin oleh Rob Hall. Lalu, Jon Krakauer yang sedang laksanakan tugas dari majalah Outside bergabung dalam tim tersebut. Ditambah lagi, Scott Fischer pemimpin ekspedisi Mountain Madness pun membawa serta jurnalis terkemuka.
Dengan biaya sebesar 45.000 euro yang harus dibayarkan setiap tim Rob Hall dan keikutsertaan Jon Krakauer dalam ekspedisi Everest 1996 menjadi tekanan bagi Rob Hall supaya pendakian berjalan dengan sukses.
Lebih buruk lagi, kedua tim tersebut memutuskan mendaki Puncak Everest pada waktu yang bersamaan. Banyaknya jumlah pendaki yang melakukan summit saat itu menimbulkan kemacetan. Keadaan makin buruk dengan adanya kesalahan fatal dalam memasang tali dan badai salju yang datang tiba-tiba.
Menurut pengakuan Lou, angin kencang datang dengan tiba-tiba mencabik-cabik tenda. Saat itu dia merasa, mungkin dia akan mati. Namun, dia sadar, bahwa dia masih hidup dan harus segera kembali turun meski dalam keadaan badai.
Tak hanya badai besar yang porak porandakan camp, yang masih terekam jelas olehnya adalah area Dead Zone Puncak Everest. Kandungan oksigen di area ini hanya 1/3 dari yang ada di permukaan laut. Dan, berlama-lama di area ini akan berakibat fatal. Belum lagi suhu udara yang mencapai minus 30 derajat saat itu.
Drama panjang tragedi Everest 1996 tak cukup sampai di situ. Keadaan makin diperburuk dengan pingsannya Doug Hansen, salah seorang klien Rob Hall, sedangkan Rob Hall berusaha menjadi pahlawan dengan menolak meninggalkannya di puncak sendirian.
Doug Hansen tak sanggup bertahan hidup lebih lama karena badai salju yang menerjang begitu hebat. Sepanjang malam, Rob Hall berusaha bertahan namun akhirnya secara tragis dia meninggal di KKT Selatan. Kisah memilukan terdengar saat Rob Hall menyampaikan kalimat terakhir pada istrinya yang sedang hamil di rumah,
“Tidurlah dengan baik sayangku. Tolong jangan terlalu khawatir. “
Di saat yang bersamaan, beberapa meter dari puncak, anggota tim Adventures Consultants dan Mountain Madness juga terjebak oleh badai 600 kaki dari perkemahan terdekat. Para pendaki ini berhasil sampai sejauh ini karena dedikasi yang hampir luar biasa yang ditunjukkan oleh pemandu Mountain Madness Neal Beidleman yang secara heroik menyeret 5 pendaki ke arah Bukit Selatan sejauh yang dia bisa.
Beidleman memandu Sandy Pittman, Charlotte Fox dan Tim Madsen dari tim Mountain Madness dan Yasuko Namba dan Beck Weathers dari tim Adventures Consultants sejauh yang dia bisa. Dia berjuang menolong tim melawan badai yang mengamuk. Kemudian, dia meninggalkan pendaki di lokasi yang relatif aman dan menuju ke Camp 4 untuk mencari pertolongan.
Mayat Andy Harris dan Doug Hansen tidak pernah ditemukan. Tubuh Scott Fischer diikat ke gunung oleh Sherpa-nya, Lopsang Jangbu, dan kemudian sembuh. Mayat Rob Hall tetap berada di South Summit untuk beberapa saat namun harus terjatuh ke dasar jurang sedalam 12.000 meter.
Setahun setelah tragedi Everest 1996, Anatoli Boukreev kembali ke Everest dan menemukan tubuh Yasuko Namba. Dia mendirikan sebuah piramida untuk melindungi tubuh Yasuko Namba dari burung pemakan daging. Kemudian pada tahun yang sama, suami Yasuko Namba melakukan ekspedisi yang sama untuk menurunkan tubuhnya dari gunung.