Banyak orang berkata, salah satu hal paling menyenangkan saat solo traveling adalah berkenalan dengan warga lokal dan mendapat kenalan baru. Namun, hal itu tak selamanya mudah. Ada beberapa hal yang biasanya saya lakukan untuk mendekatkan jarak dengan mereka.
Terdengar simpel, namun ampuh.
Saat berada di Karimunjawa, saat itu cuaca cukup mendung dan angin bertiup kencang hingga membawa aroma laut yang khas ke daratan. Saya duduk di kursi kayu reot bersama seorang warga lokal pemilik homestay, pria paruh baya dengan rokok yang selalu menempel di mulutnya.
Awalnya kami hanya saling berbasa-basi, setelah saya menanyakan perihal cuaca yang berangin dan sering badai, si pemilik homestay langsung mengobrol panjang lebar. Selain membuka jasa penginapan, dirinya adalah nelayan. Karena cuaca buruk dia tak bisa melaut beberapa hari dan kapal ferry pun tak bisa merapat. Jika sudah begitu, biasanya harga ikan akan turun karena para nelayan banting harga, daripada ikan membusuk di penyimpanan.
Dari hanya obrolan singkat tentang cuaca, saya mendapat banyak informasi ‘lokal’ dari si pria tersebut.
Sok tahu didepan warga lokal justru terkadang bisa membuat kita jadi dekat dengan warga lokal.
Saat berada di Dataran Tinggi Dieng, saya sok tahu menceritakan tentang carica. Saya memang tidak terlalu tahu tentang buah satu ini. Saat itu saya dan beberapa teman membeli manisan carica di sebuah rumah makan. Manisan carica tersebut dikemas dalam sebuah tempat plastik, mirip jajanan agar-agar yang sering dijual untuk anak-anak.
Karena tekstur dan warnanya yang mirip mangga saya menduga carica masih satu jenis dengan mangga. Saya mengajukan hipotesis itu didepan teman-teman saya yang hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan saya.
Si pemilik rumah makan mendengarnya, dan tertawa mendengar dugaan saya. Dia menjelaskan jika carica itu sebenarnya pepaya. Pepaya khas Dieng. Ibu pemilik toko dengan rambut yang banyak dipenuhi uban menandakan usianya yang mulai senja, bahkan mengajak kami melihat pohon carica langsung di belakang rumah makannya. Dan, di luar dugaan kami boleh memetik beberapa buah carica matang untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Semua berawal dari ke-sok tahuan.
Ini saya lakukan di Jogja. Saya berjalan-jalan seorang diri di Alun-alun Kidul Jogja. Tempat ini tak jauh berbeda dari saat kunjungan saya 1 tahun lalu. Masih dipenuhi orang-orang yang sibuk berjalan menggunakan penutup mata kesana kemari. Bedanya, rumputnya makin bertambah tinggi tak terawat.
Saya duduk dipinggiran setelah lelah berkeliling, disamping persewaan penutup mata. Daripada duduk bengong, saya iseng bertanya pada mas-mas yang menyewakan penutup mata.
‘Mas, kalau ke Jalan Parangtritis dari sini arahnya kemana ya? Kalau jalan kaki berapa lama?’
‘Wah, jauh mas, mending naik taksi, nanti di gapura plengkung itu mas belok kiri, lurus terus, ada persimpangan besar belok kanan, itu Jalan Parangtritis,’ Dia menjelaskan dengan detail.
DIa bertanya kenapa saya sendirian karena biasanya yang datang ke Alun-alun kidul adalah pasangan atau rombongan. Saya ceritakan saja kalau saya ditinggal rombongan. Dia tertawa. Dia bercerita banyak setelah itu, tentang Alun-alun kidul yang dulu cukup sepi, dan agak terasa mistis baginya, sekarang selalu ramai oleh turis yang penasaran berjalan di antara 2 pohon beringin.
Penasaran, saya bertanya keuntungannya sehari.
“Kalau lagi akhir minggu atau musim liburan saya bisa dapat untung Rp 300.000,- sampai Rp 500.000,- Mas. Kalau hari biasa berkisar Rp 100.000,- sampai Rp 200.000 per hari,’ dia bercerita sambil terus melayani penyewa.
Jumlah yang cukup besar menurutku. Dia tak butuh modal besar,hanya sekitar 10 kain penutup. Setelah itu dia duduk santai menanti penyewa sembari asyik bermain facebook di smartphonenya.
activate javascript activate javascript