Suatu Sore yang Terik di Malaka, Malaysia

SHARE :

Ditulis Oleh: Eka Herlina

“Kamu bisa ikut Melaka River Cruise. 15 ringgit saja,” jelas William sembari memberi lingkaran pada peta kertas yang telah disiapkannya. Ia menjabarkan satu persatu tempat yang menarik yang bisa saya kunjungi di Malaka termasuk tempat makanan halal. Diam-diam saya mengagumi sosoknya sebagai penjaga guesthouse yang memahami berbagai informasi penting untuk tamunya. Meski demikian, jujur saja  informasi yang dipaparkan William tak terlalu saya simak. Rasa lelah perjalanan dari Kuala Lumpur membuat saya ingin segera melepas penat dengan tidur. Saat itu saya mengunjungi Malaka di awal September 2016 – sehari sesudah menunaikan ibadah Idul Adha di Kuala Lumpur. Mentari bersinar cukup terik.

Foto dok. pribadi penulis

Sebagai penikmat sejarah, Kota Malaka adalah salah satu destinasi impian saya. Suat hal luar biasa bagi saya dapat menelusuri jejak perdagangan Portugis di kota kecil ini. Kota ini sukses menjadi pusat perdagangan antar bangsa sekitar abad 15. Sayangnya, kondisi pikiran dan badan  yang kelelahan usai ‘pusing-pusing’ di Kuala Lumpur, membuat saya malas segera ‘membaca’ Malaka.

Malaka menawarkan sensasi seperti sebuah taman yang menenangkan di tengah terik panasnya matahari. Setidaknya itu yang saya rasakan sesaat mendaratkan kaki di kota yang mendapat predikat World Heritage Site dari UNESCO.

Setelah dirasa cukup mengistirahatkan badan, penjelajahan saya dimulai. Panasnya matahari sore itu tak menyurutkan kaki ini untuk melangkah santai menelusuri Sungai Malaka. Sesekali berhenti menyaksikan cruise yang melintas.

Malaka Red Square; Kota Tua yang Menakjubkan

Saya melepas penat di salah satu tempat duduk di kawasan Malaka Red Square. Melempar pandangan ke beberapa wisatawan baik asing maupun lokal yang asyik berfoto ria. Dari berbagai gaya dengan keceriaan yang menyenangkan. Kebahagiaan bukan saja milik mereka yang berfoto ria, tapi juga para abang becak yang menghiasi becaknya dengan ragam modifikasi yang indah. Senyum gembira terpancar di wajah si Abang, menawarkan jasa becaknya. Saya mengeleng. Menghirup udara sore yang panas, si abang tak menyerah dan tetap ramah menawarkan jasa becaknya dengan harga yang ia bilang murah dari turis biasanya.

“20 ringgit saja.”

Saya hanya tersenyum tipis sembari menggeleng kepala, lagi.

Kawasan Malaka Red Square dikenal dengan sebutan Dutch Square. Di tempat ini terdapat gereja protestan pertama di Malaysia, Christ Church yang dibangun sekitar tahun 1753. Kala itu, pembangunan gereja ini dalam rangka memperingati 100 tahun pendudukan Belanda di Malaka. Menariknya, bata merah pembangunan gereja ini didatangkan langsung dari Belanda.

Seraya menghela napas, saya mengalihkan pandangan ke Stadthuys, yang dibangun sekitar tahun 1641 an. Stadthuys awalnya merupakan rumah dinas Gubernur Belanda. Saat Malaka jatuh ke penjajahan Inggris, tempat ini dialih-fungsikan menjadi alun-alun. Sampai sekarang bangunan tersebut masih terawat dengan baik.

Selain bangunan tersebut, di Red Square ini terdapat juga Menara Jam Tan Beng Swee, yang dibangun pada 1886 oleh seorang pemuda Malaka sebagai penghormatan terhadap ayahnya. Jam ini masih berfungsi dengan baik. Kehadiran replika kincir angin di kawasan ini juga menjadi bukti keberadaan kolonial Belanda di tempat ini. Selain itu juga terdapat air mancur Queen Victoria Fountain, yang dibangun saat Malaka jatuh ke tangan Inggris pada 1904 sebagai persembahan kepada Ratu Victoria dalam rangka perayaan 60 tahun kekuasaan. Dua kekuasaan di masa lalu tergambar dengan bukti bangunan megah menakjubkan.

Menyaksikan Keindahan Malaka dari Menara Taming Sari

Foto dok. pribadi penulis

Menikmati Malaka di penghujung sore adalah pilihan tepat. Ada suatu sensasi tersendiri saat melihat bangunan tua ketika kaki ini menelusur tak tentu arah menuju Menara Taming Sari. Terdapat replika kapal Flor De La Mar yang difungsikan sebagai Museum Maritim. Kapal Flor de La Mar sendiri merupakan kapal milik Portugis yang pernah ditenggelamkan di selat Malaka pada November 1511.

Di seberang kapal tersebut, terdapat sebuah pusat perbelanjaan oleh-oleh. Karena perjalanan ini adalah bertujuan untuk menenangkan pikiran saya dari keramaian ibukota Malaysia sebelumnya saya kunjungi, saya melangkah santai. Tidak untuk membeli oleh-oleh, sekadar menikmati aktivitas jual beli yang tampak tenang.

Tak ada yang bisa saya beli di pusat oleh-oleh tersebut selain satu bungkus bumbu masak asam pedas – sebagai orang Minangkabau, cita rasa masakan ini terasa tak asing bagi lidah saya. Saya menyadari bahwa makanan favorit saya ini, tidak saja milik suku saya, tapi masyarakat Melayu pada umumnya. Di Aceh pun dapat ditemui masakan asam pedas. Begitu pedagang tersebut bercerita pada saya.

Saya mengakhiri ‘istirahat’ sejenak dari kelelahan menikmati kehidupan urban Kuala Lumpur di bawah menara Taming Sari. Menengadahkan kepala. Menerka pemandangan apa yang akan terlihat di sana. Sebuah selat dengan lautan luas terbentang, di seberang sana pulau tempat saya dilahirkan dan dibesarkan berada ; Sumatera.

Nun sangat jauh ke belakang, berabad-abad dulu, pikiran saya membayangkan kapal-kapal perdagangan yang lalu lalang melintas selat tersebut. Salah satu dari mereka, mungkin singgah di pelabuhan Teluk Bayur. Sejarah, tetap saja menjadi cerita yang menarik nan penuh praduga.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU