Negara Kepulauan tempat kita berdiri saat ini ternyata memiliki rentetan sejarah panjang hingga bisa disebut sebagai Indonesia. Jauh sebelum masa kolonialisme Belanda dimuali, masyarakat Tionghoa menyebutnya dengan Nan-hai yang bermakna Kepulauan Laut Selatan. Sedangkan Bangsa Arab mengenal dengan nama Jaza’ir al jawi yang berarti Kepulauan Jawa.
Catatan kuno Bangsa India menjuluki Indonesia kala itu dengan sebutan Dwipantara yang bermakna Kepulauan Tanah Seberang. Nama tersebut diturunkan dari bahasa sansekerta yaitu dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Dalam epos kuno Ramayana India dikisahkan saat Shinta diculik oleh Rahwana, Sri Rama melakukan pencariaan hingga ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, diperkiran Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di kepulauan Dwipantara.
Bangsa Eropa yang pertama kali mendarat di Benua Asia mengira bahwa Bangsa Asia hanya terdiri atas orang Arab, Tiongkok, Persia, dan India. Bagi Bangsa Eropa, tanah yang membentang luas dari Persia hingga Tiongkok adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan disebut dengan Hindia Muka dan Asia Tenggara dinamai Hindia Belakang. Sedangkan kepulauan di wilayah tenggara termasuk Indonesia kala itu dikenal dengan Kepulauan Hindia
(Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales).
Karena dahulu Indonesia berada dibawah jajahan Negara Belanda maka disebut Hindia Belanda (Nederlansch-Indie). Dibawah Belanda, nama Hindia Belanda sangat populer diantara Bangsa Eropa sebagai pengasil rempah-rempah dengan kualitas terbaik yang pernah ada. Setelah masa penjajahan Belanda berakhir dan berganti dengan pendudukan Jepang, nama Hindia Belanda diganti dengan To-Indo yang berarti Hindia Timur.
Eduard Douwes Dekker yang memiliki nama samaran Multatuli, seorang berkebangsaan Belanda yang menentang penindasan bangsanya kepada Indonesia kala itu menyebut dengan nama Insulinde. Nama ini berasal dari bahasa latin yang bermakna sama yaitu Kepulauan Hindia. Walaupun sempat menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20, nama Insulinde kurang begitu populer.
Pada tahun 1850 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan yakni Journal of Indian Archipelago and Eastern Asia. Halaman 66-74 terdapat sebuah artikel karya George Samuel Windsor Earl yang mengemukakan perlunya nama khas bagi wilayah Kepulauan Hindia, sebab nama Hindia sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl kemudian mengusulkan dua nama yaitu Indunesia dan Malayunesia. Earl lebih condong dengan Malayunesia karena sangat tepat dengan ras melayu.
Di jurnal yang sama, tepatnya halaman 252-347 seorang penulis bernama James Richardson Logan menulis artikel berjudul The Etnology of Indian Archipelago. Dalam artikelnya Logan mengemukakan pentingnya nama khas karena Kepulauan Hindia dianggap terlalu panjang dan membingungkan. Logan memilih nama Indunesia yang diusulkan Earl, dengan penggantian huruf u menjadi o agar lebih baik dari segi pengucapan.
Sejak saat itu dalam setiap tulisannya Logan menggunakan nama Indonesia untuk menyebut Kepulauan Hindia. Lambat laun nama ini menjadi populer dikalangan ilmuwan etnologi dan geografi. Tahun 1884, seorang guru besar dari Universitas Berlin bernama Adolf Bastian menerbitkan sebuah buku berjudul Indonesien order die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume. Buku inilah yang kemudian mempopulerkan nama Indonesia dikalangan sarjana Belanda.
Warga pribumi pertama yang menggunakan nama Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat atau akrab sebagai Ki Hajar Dewantara. Saat diasingkan ke Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers bernama Indonesische Persbureau. Indonesisch merupakan bentuk pelafalan Indonesia dalam Bahasa Belanda. Tahun 1917 Prof. Cornelis van Vallenhoven kembali memperkenalkan Indonesisch sebagai pengganti Indisch (Hindia).