Rupiah melemah dan naiknya nilai tukar dolar rupanya berimbas pula pada maskapai penerbangan dalam negeri. Hal ini seketika menjadi ancaman karena sebagian beban usaha maskapai dibiayai oleh dolar AS.
Biaya-biaya yang dibiayai dengan dolar AS antara lain seperti sewa pesawat, suku cadang, asuransi, pelatihan karyawan, utang dan lain sebagainya. Dari sejumlah komponen biaya itu, kebutuhan dolar paling tinggi adalah dari sewa pesawat dan suku cadang.
Tak hanya itu, kenaikan kurs dolar terhadap rupiah menyumbang pengaruh biaya pada bahan bakar pesawat atau avtur. Pada maskapai, rata-rata avtur menyumbang 30-40 persen dari total biaya operasional.
Tekanan dolar terhadap komponen biaya pada masing-masing maskapai tentunya berbeda, bergantung kebutuhan dan efisiensi.
Pada maskapai penerbangan Garuda, biaya operasional yang terpengaruh dolar lebih tinggi dari rata-rata perkiraan INACA (Indonesia National Air Carrier Association), yakni 75 persen dari total biaya operasional.
Pada skala global, rupiah melemah ini justru lebih banyak menggerus keuntungan bagi para maskapai pesawat. Berdasarkan laporan keuangan Garuda pada kuartal II-2018 (hlm 120), setiap kenaikan nilai tukar dolar terhadap rupiah sebesar 100 basis point, akan menggerus laba setelah pajak sebesar US$3,69 juta.
Hal ini berlaku pula pada Air Asia Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan pada kuartal II-2018, rugi bersih Air Aisa mencapai Rp421,33 miliar.
Upaya penyesuaian tarif menjadi urgen dilakukan mengingat harga avtur dan nilai tukar dolar terhadap rupiah belakangan ini terus meningkat. Khusus untuk avtur, rata-rata harga avtur saat ini sudah di atas Rp9.729 per liter.
Rupiah melemah tentu menjadi pekerjaan rumah bersama. Banyak perbaikan yang perlu dilakukan di sana-sini, termasuk di dalam badan maskapai penerbangan maupun pemerintah terkait.