Pulau Komodo di Nusa Tenggara Timur (NTT) bukanlah tempat untuk backpacker atau wisatawan on budget lagi. Hal ini diumumkan oleh Gubernur NTT, Viktor Buktilu Laiskondat bahwa pariwisata di Pulau Komodo akan dirancang menjadi destinasi wisata premium yang khusus untuk wisatawan berdompet tebal saja. Kasta Pulau Komodo tidak lagi sama dengan destinasi wisata lain di Indonesia.
Ide Gubernur NTT untuk menjadikan Pulau Komodo sebagai destinasi wisata premium disebut datang setelah Lonely Planet, penerbit buku panduang wisata terkenal, menjadikan NTT sebagai salah satu destinasi wisata terbaik dunia yang wajib dikunjungi pada tahun 2020. Menurut Viktor, upaya ini juga dilakukan untuk menjaga ekosistem alam Pulau Komodo agar tidak rusak oleh wisatawan.
Upaya Viktor memilah-milah wisatan sudah terlihat sejak September 2019 lalu. Viktor berencana menutup Pulau Komodo. Namun gagal karena dijegal oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Menteri Pariwisata, dan Menteri Lingkungan Hidup yang menjabat kala itu. Akhirnya, jalan tengah yang diambil adalah dengan membatasi jumlah pengunjung di Pulau Komodo. Garis batasnya? Tentu saja uang.
Pulau Komodo akan memberlakukan pengaturan keanggotaan tahunan yang sifatnya premium. Biayanya memang besar, rencananya berkisar di angka Rp 14 juta. Mereka yang tidak terdaftar dalam keanggotaan premium ini tentu saja tidak akan diijinkan masuk ke Pulau Komodo. Wisatawan non-premium tersebut selanjutnya akan diarahkan ke Pulau Rinca.
Banyak terjadi pro dan kontra atas rencana tersebut. Dalih untuk menjaga kelestarian ekosistem alam di Pulau Komodo dengan menjadikannya Deluxe Tourism, secara tak langsung Viktor menyebut bahwa wisatawan miskin yang datang ke Pulau Rinca atau Gili Lawa dengan hanya mengandalkan tiket promo dan tabungan tidak bisa menjaga lingkungan lebih baik dari wisatawan kaya dan tajir melintir.
Tentu saja tidak. Keingingan Gubernur NTT, Viktor untuk mensejahterakan warganya melalui sektor pariwisata jelas tidak ada salahnya. Tidak bisa disangkal juga, NTT memang selama ini menjadi sumber devisa yang cukup menjanjikan untuk negara. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa kunjungan wisatawan ke NTT terus mengalami peningkatan yang signifikan dalam rentang 2013-2017.
Berkaca dari Bali, melalui pariwisata mereka bisa menekan prosentase penduduk miskin menjadi hanya 3.91 persen saja, nomor dua paling rendah di Indonesia. Ditambah dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Bali yang cukup tinggi, yaitu 74.3 dari 100, berada di urutan lima tertinggi di Indonesia. Tentu saja, kondisi ini juga bisa terjadi di NTT jika dan hanya jika industri wisatanya terkelola dengan baik.
Menjadikan suatu destinasi wisata menjadi ekslusif untuk orang kaya saja memang bukanlah hal baru di industri pariwisata. Beberapa negara lebih dulu menerapkan hal ini, tujuannya sudah tentu untuk mendatangkan pemasukan sebesar-besarnya tanpa harus merusak kelestarian alam dari destinasi wisata. Misalnya Mustique, pulau pribadi di Karibia yang butuh sekitar Rp 287 juta untuk berlibur di sana selama seminggu.
Setelah Pulau Komodo, terdapat satu negara yang memberlakukan strategi Deluxe Tourism, yaitu Republik Palau. Negara yang berada di Oseania ini terdiri atas pulau-pulau kecil dengan hutan tropis lebat dan pantai-pantai indah. Pemerintah Republik Palau mengaku akan lebih mengedepankan kualitas dibandingkan kuantitas. Rencana akhirnya, diharapkan hanya menarik wisatawan dari kalangan orang kaya saja.
Kabar yang beredar, rencana ini digodok oleh Pemerintah Republik Palau setelah terjadi peningkatan wisatawan dari China yang berimbas negatif pada lingkungan alam di Palau. Penerbangan menuju ke Palau memang sudah sangat mahal. Kedepannya, pihak pemerintah akan mengeluarkan peraturan perundang-undangan baru yang bisa mendorong wisatawan kaya saja untuk berlibur ke Palau.