Jika mengayuh dayung jauh ke laut Karibia, kita akan menemukan satu pulau dengan pasir putih dan nyiur yang tersebar di dalam pulaunya. Inilah Pulau Guna Yala, dulunya dikenal dengan nama San Blas. Guna Yala, dalam bahasa Kuna berarti Tanah Guna atau gunung Guna. Kepulauan yang terletak di lepas pantai Panama yang terdiri dari 300 jajaran kepulauan. Empat puluh sembilan di antaranya ditempati oleh orang asli suku Guna.
Jika anda sangat menginginkan asupan vitamin sea, Pulau Guna Yala adalah salah satu destinasi yang sempurna. Pasalnya, pulau yang satu ini dipenuhi dengan koral-koral dan terumbu karang yang memukau, tersimpan di bawah birunya laut Guna Yala. Tak heran, jika Guna Yala dinobatkan sebagai pulau dengan gugusan terumbu karang terbaik di kawasan Northwest Atlantic Coast Biographical Bioregion Caribbean and Central versi UNESCO.
Satu hal yang menarik tentang Guna Yala bukan lagi tentang keindahan alamnya yang rupawan, namun juga adat-istiadat yang ada. Di Guna Yala, perempuan merupakan ‘penguasa’, dan di tempat ini pula, masyarakat dengan ‘gender ketiga’ hidup dengan damai sejahtera.
Suku ini memiliki banyak keunikan yang menarik untuk dibahas. Salah satunya yakni fakta bahwa kawasan ini merupakan wilayah masyarakat adat yang otonom. Mereka memiliki bendera berwarna hitam dengan lambang swastika yang menghadap ke kiri, dan mewakili empat arah mata angin dan penciptaan dunia.
Dihuni oleh etnis suku Guna, pulau Guna Yala keluar dari stereotype masyarakat, dan menjunjung tinggi hakikat perempuan. Dalam pulau yang dihuni oleh 50.000 masyarakat etnis guna ini, perempuan memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan masyarakat. Perempuannya menjadi penyalur makanan utama, pemilik properti dan pengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
Tak hanya itu saja, pada masyarakat ini terdapat satu tradisi pernikahan unik. Dimana terdapat prosesi penculikan mempelai dilakukan oleh sang perempuan. Para suami di komunitas masyarakat ini memiliki hak untuk memiliki harta atas izin dari sang istri. Sang istri lah yang menentukan apakah si suami bisa membagi ikan, kelapa, atau tanaman untuk orangtua atau saudara mereka. Namun, meskipun begitu, masyarakat pulau ini tak menganut sistem matriarki, karena perempuan sangat jarang menjadi kepala keluarga maupun dalam kepentingan politik.
Dalam rangka menjunjung martabat perempuan di pulau ini, terdapat tiga rangkaian perayaan yang dilakukan oleh masyarakat suku Guna. Ketiga perayaan tersebut antara lain kelahiran perempuan, masa pubertas, dan pernikahan. Ketiga perayaan ini merupakan pesta penyambutan untuk merayakan kehadiran dan tumbuh dewasanya wanita suku Guna.
Orang-orang berkumpul untuk minum chicha, bir lokal yang keras,dalam rangka merayakan kehadiran dan tumbuh dewasanya perempuan. Dalam perayaan ini, septum (dinding tipis yang membatasi kedua lubang hidung) seorang gadis akan ditindik dan kemudian dipasangi cincin emas. Emas disini menjadi simbol betapa berharga dan bernilainya mereka.
Melawan stereotype masyarakat umum, masyarakat yang menghuni pulau ini begitu menghargai ‘kecairan’ gender. Masyarakat Pulau Guna Yala menjadi rumah yang sempurna bagi pemilik gender ketiga. Bagi masyarakat umumnya, individu dengan gender ketiga dianggap sebagai orang yang dianggap aneh di masyarakat. Namun, berbeda dengan masyarakat suku Guna. Kehadiran transgender, maupun orang dengan gender ketiga adalah hal yang sangat lumrah di sini.
Dijuluki sebagai Omeggid, gender ketiga dalam masyarakat Guna Yala adalah gender yang diberikan pada anak laki-laki yang memilih menjadi ‘seperti perempuan’. Jika seorang anak laki-laki mulai menunjukkan kecenderungan ‘perempuan’, keluarga dengan wajar menerimanya dan membiarkannya tumbuh menjadi seorang perempuan. Mereka pun mendapatkan hak untuk bekerja dan diterima sebagai perempuan pada umumnya di masyarakat.
Selain perbedaan secara fisik, Omeggid tidak memiliki perbedaan lain dengan wanita penghuni Pulau Guna Yala. Mereka akan mempelajari keterampilan yang biasanya dilakukan oleh perempuan, seperti pekerjaan rumah tangga hingga membuat kerajinan tangan khas Guna Yala, yaitu mola. Sebagian besar Omeggid yang tinggal di kepulauan itu akan menguasai kemampuan untuk membordir mola yang paling rumit.
Dilansir dari BBCTravel, keberadaan Omeggid ini berasal dari mitologi masyarakat Guna. Diego Madi Dias, seorang antropolog dan peneliti pasca-doktoral di Universitas Sao Paulo mengungkapkannya.
“Ada kisah-kisah penciptaan penting tentang para pemimpin asli yang membawa tradisi ini, serta aturan dan panduan bagi kehidupan orang-orang Guna: seorang laki-laki bernama Ibeorgun, saudarinya, Gigadyriai, serta adik laki-laki mereka Wigudun — sosok yang kini menjadi ‘jenis kelamin ketiga’,” kata Dias.
Dias juga menjelaskan bahwa Wigudun merupakan sosok laki-laki dan perempuan.
Terlepas dari ‘gender fluidity’ yang ada di pulau Guna Yala, orang-orang Omeggid ini bisa dibilang cukup sukses. Baik di pulau besar atau utama dan pulau-pulau yang lebih kecil, mereka begitu menonjol.
Omeggid muda dengan rambut panjangnya belajar kerajinan tangan dari ibu-ibu mereka. Omeggid yang lebih tua dan mengenakan scarf penutup kepala menjual mola atau menjadi pemandu turis dan penerjemah. Anggota keluarga memperlakukan Omeggid sama seperti anak-anak mereka yang lainnya.