Pemasangan instalasi bola bumi raksasa bertuliskan ‘Universal’ di Desa Bahasa Borobudur, Magelang sempat menuai protes warga net. Instalasi yang diklaim sebagai spot instagramable itu dinilai meniru landmark Universal Studio di Singapura. Warga net menyayangkan, kenapa harus meniru landmark dan merusak yang sebenarnya sudah tampak indah?
Tren spot instagramable belakangan memang sangat populer di kalangan para milenial Indonesia. Banyak para pengelola destinasi wisata alam yang berusaha mempercantik dengan berbagai instalasi tempat foto berbentuk sayap, sarang burung, atau bentuk hati kemudian di cat warna-warni mencolok mata. Bukannya semakin cantik, spot instagramable ini justru terlihat kontras dan mengotori pemandangan yang sudah indah.
Proses pembuatannya yang serampangan dan tidak diimbangi dengan perawatan yang baik malah membuat alam sekitar menjadi rusak. Paku-paku besi yang tertancap di batang pohon tinggi dapat membuat batang kayu keropos dan rapuh. Saat angin kencang berhembus, bisa saja pohon tumbang dan menimpa orang atau bangunan di sekitarnya.
Perkembangan teknologi digital dan media sosial yang pesat membuat cara-cara seperti spot instagramable memang efektif menggaet kunjungan wisatawan karena gampang viral. Banyak maniak selfie yang berbondong-bondong datang. Namun perlu diperhatikan, tipe wisatawan semacam ini semata-mata datang untuk memenuhi hasrat berfoto saja.
Setelah dirasa mendapatkan hasil foto terbaiknya, mustahil mereka akan datang kembali. Ini konsep wisata yang salah karena hanya meningkatkan pamor tempat wisata sesaat saja. Sulit bagi tempat wisata semacam ini memiliki umur panjang. Dewasa ini juga banyak wisatawan yang mulai meninggalkan tren wisata ini karena dinilai norak dan dianggap alay.
Apakah salah mengusung konsep spot instagramable pada tempat wisata? Tidak juga. Namun juga tidak selalu benar. Coba renungkan sejenak, lebih menarik mana pemandangan alam tanpa atau dengan spot instagramable? Jika pemandangan sudah tampak indah, tidak perlu lah ditambah dengan spot-spot instragramable tidak penting. Coba pikirkan efek keberlanjutan.
Apabila ingin memperindah tempat wisata alam agar wisatawan tertarik berkunjung, kuncinya ada di kemampuan storytelling terkait sejarah, mitos, atau kepercayaan lokal. Atau isa juga dengan mengadakan festival budaya di saat-saat tertentu. Keliru paham semacam ini telah membuat banyak tempat wisata menjadi collapse dan ditinggalkan wisatawan.
Contoh kasus adalah Kampung Pelangi di Semarang. Konsepnya meniru Kampung Jodipan di Malang, desa kumuh itu kemudian disulap dengan ornamen warna-warni. Langsung viral, pengunjung langsung membludak. Namun apakah masih ramai sampai sekarang? Tahun 2017 memang banyak wisatawan berkunjung, tahun 2018 dan 2019 jumlah kujungan mulai turun perlahan. Tahun 2020 Kampung Pelangi tak secerah dulu.
Secara ilmu consumer behavior, tempat wisata ini memang sudah benar. Namun dari strategi marketing dari perspektif Indonesia untuk marketing internasional, apakah wisatawan asing bersedia mengunjungi tempat wisata KW seperti ini? Sebagai contoh Kampung Eropa di Lembah Harau, Sumatera Barat yang malah didukung Pemda setempat.
Bukannya meningkatkan fasilitas pendukung di destinasi wisata alam, Pemda justru mendukung konsep wisata yang mengangkat ciri khas asing. Parahnya lagi marketingnya menggunakan slogan ‘Wonderful Indonesia’. Sungguh ironi, padahal tidak ada unsur Indonesia sama sekali yang coba diangkat dari konsep wisata ini. Keliru paham ini harus segera diluruskan.