Tidak terasa gelaran Dieng Culture Festival (DCF) telah menginjak tahun ke sembilan. Festival yang telah mendunia ini punya ciri khas unik dari festival lainnya karena menggabungkan culture dan modern dalam rangkaian acaranya. Pemotongan atau ruwatan rambut gimbal, jazz atas awan, dan pesta lampion menjadi salah satu acara yang paling ditunggu.
Gelaran inipun dihadiri ribuan orang, baik dari dalam negeri hingga luar negeri. Kemeriahannya sangat terasa bahkan homestay di Dieng selalu ludes selama tiga hari gelarannya. Namun masih banyak orang yang belum tahu bagaimana perjuangan orang-orang dibalik kesuksesan gelaran DCF hingga dikenal seperti sekarang ini.
Jika ditanya bagaimana awal mula adanya DCF maka kita harus kembali ke 12 tahun lalu di mana awal mula pariwisata Dieng mulai tumbuh. Pertumbuhan itu diawali oleh sosok ketua Pemuda Dieng Kulon, Alif Faozi yang ingin memajukan pariwisata Dieng yang masih belum diperhatikan. Bahkan hanya ada 2-3 mobil wisatawan yang datang ke wilayah Dieng pada saat itu.
“Pada tahun 2005 awalnya menjadi ketua pemuda di Dieng. Pada tahun 2006 Saya punya program ke pemuda untuk melakukan kegiatan kepariwisataan karena potensi yang kami punyai. Ini tidak lepas dari permasalahan yang saya hadapi, Karena banyak pemuda “belum banyak kegiatan”. Waktu itu Saya berharap para pemuda memiliki kreativitas. Akhirnya berkoordinasi dengan pemerintah.” cerita Alif yang kami temui di kediamannya di hari kedua DCF 2018.
“Pada saat itu Dieng sangat sepi. Kami bermimpi suatu saat Dieng itu bisa seperti mohon maaf, Borobudur. Karena pada waktu itu hanya ada 2-3 mobil yang ada di Dieng. Hingga akhirnya Kami mengikuti pengembangan cluster dan kami buat pokdarwis.” tambah Alif.
Dieng pada waktu itu juga belum memiliki nama, sehingga cukup sulit mengenalkan wisata apalagi menyelenggarakan DCF yang saat itu masih dalam pemikiran.
“Dulu Dieng belum punya nama hingga akhirnya diberi nama Dieng Kulon Negeri Atas Awan. Kami ingin punya ciri khas, lalu kami membuat Festival Dieng. Dulu belum bernama Dieng Culture Festival.” ujar Alif.
“Itu pada awal tahun 2010.” tambahnya.
Setelah tahun 2010, DCF mengalami banyak peningkatan. Bahkan tahun 2017 diteliti wisatawan menghabiskan Rp350.000 selama acara berlangsung. Pengeluaran ini termasuk untuk makan dan oleh-oleh. Berlum termasuk penginapan.
“Per orang tahun lalu wisatawan bisa menghabiskan Rp350.000 dikali 1.000 peserta ada sekitar 3,5 M perputaran uang di Dieng saat DCF” terang Alif.
Namun kesuksesan itu tentu saja tidak serta merta karena rangkaian acara yang menarik. Tapi karena destinasi wisata Dieng yang juga unik dan menarik.
“Dieng luar biasa. Dieng ini berbeda sekali dengan destinasi lain, di satu wilayah ada berbagai pilihan wisata, katakanlah satu wilayah hanya ada satu kawah misalnya Kawah putih di sini ada banyak Kawah Seleri, kawah Sikidang, di Indonesia bagian timur dan tengah ada Danau Kalimutu di sini ada Telaga Warna, kalau ke Borobudur hanya ada Candi di sini ada Candi, kalau Bromo ada sunrise di sini juga ada, bahkan jika di luar negeri ada es, di sini juga ada.” ujar Alif.
“Kesuksesan DCF bukan hanya dari saya, pengurus saya, dan masyarakat Dieng. Tapi semua stakeholder. Mulai dari pemerintah, industri, akademisi, dan teman-teman media.”ujar Alif.
“Terimakasih untuk teman-teman media. Apalagi ini secara khusus phinemo. Semoga bisa membuat storytelling yang bagus dan semoga Dieng semakin populer dan mendunia.”pungkas Alif.