5 Pelajaran Berharga Saat Solo Traveling di Kota Jogja

Solo traveling di Jogja menimbulkan kesan mendalam di hati. Pelajaran luar biasa dari orang-orang yang tak terduga.

SHARE :

Ditulis Oleh: Prameswari Mahendrati

“Hormatilah adat di sana, jangan neko-neko, pokoknya yang penting sopan santun”

Begitulah kebanyakan orang tua memberi nasihat atau biasa masyarakat keturunan Jawa bilang, wejangan. Berbagai wejangan yang ditumpahkan orang tua kepada anaknya tentula memiliki tujuan baik. Walaupun, beberapa menyampaikan wejangan secara tersirat lewat berbagai simbol-simbol.

Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari setiap kelakuan selama melakukan petualangan. Salah satunya, menjadi seorang solo traveler. Bukan berarti seorang solo traveler adalah orang yang kaya akan pengetahuan karena pengalaman mengunjungi berbagai destinasi. Tentu kami juga masih perlu banyak belajar tentang apa itu kehidupan.

Melangkahkan kaki di Jogja bersama sepasang sandal “butut” tak hanya trotoar luas bersama bangku taman di bawah pohon beringin, dua pohon kembar di bagian kidul, bangunan inditje tua nan klasik dengan cat putih tulang, serta lantunan lagu yang selalu berubah setiap hampir 10 menit sekali.

Wejangan, itulah oleh-oleh yang didapatkan selama menjadi solo traveler dan hilang di Jogja. Berikut, oleh-oleh berharga dari orang-orang biasa tapi berpedoman luar biasa;

1. Secangkir Teh Hangat dan Seorang Penulis di Suatu Pagi

“Paling penting adalah kita selalu ingat pada ‘kakang kawah’, sebab ia adalah wujud dari ruh, cermin dari tingkah laku manusia, semakin tidak jujur, maka semakin jauh darinya, kesetaraan mulut dengan hati, itulah kunci menuju ketenangan batin”.

Begitulah ucapan dari seorang ibu berambut pendek, novelis sekaligus pengelola hotel tempat saya bermalam di Jogja. Ekspresi teduh dan ucapan yang santai membuat suasana minum teh pagi ini seperti bersama seperti ibu kandung, tanpa ada batasan antara pelanggan dengan seorang pengelola. Apalagi ditambah dengan wejangan yang diberikan.

Bukannya merasa seperti tergurui, tetapi menambah cita rasa minum teh pagi ini, rasa yang bercampur aduk, antara budaya, kepercayaan khas Jawa, dan anjuran berbuat baik dibalut secara seimbang menjadi satu.

2. Curahan Hati Melankolis Seorang Seniman Jalanan Malioboro

Kami memang tidak seperti kalian yang bisa merantau untuk kuliah, tapi jangan dipikir kami ini hanya luntang-lantung gak jelas

Kami  bebas hidup dan tidur di mana saja, tapi kami juga punya mimpi untuk mengembangkan diri. Kami menciptakan lagu, membentuk komunitas, kami tidak meminta-minta dan memaksa, daripada para mahasiswa yang sukanya meminta-minta uang jajan kepada orang tua, lalu buat apa mereka mengisi otak dengan ilmu kalau tidak dijalankan. Makanya kamu harus bersyukur dan manfaatkan isi yang ada di kepalamu.”
Sepintas ucapan itu terdengar layaknya kalimat frontal yang menyudutkan salah satu pihak. Terdiam sejenak, berusaha meresapi makna dari ucapan sang seniman jalanan itu. Jika tak salah tangkap, justru ucapan tersebut berisikan sebuah curahan hati dari seorang pria bertato dan bertindik.

Terdengar agak kasar memang, tapi saya coba untuk masuk seakan-akan berada di posisi mereka.
Tentu itu adalah salah satu dari bagian dari wejangan. Jika kamu terheran-heran mengapa kalimat yang dilontarkan begitu sinis bisa jadi sebuah wejangan.

Tak ada yang salah dari nasihat atau pesan dari seorang seniman jalanan bertato.

Ia hanya ingin orang lain bersyukur akan kehidupannya yang lebih beruntung, walau pengucapannya memang belum tentu bisa ditangkap oleh semua orang. Toh, wejangan hanya bisa diterima selama pendengar menganggapnya sebagai hal postif.

3. Kaca Mata Seorang Abdi Dalem Tentang Pemuda

Ngerusak gampang, betulin yang susah

Penggalan kalimat singkat dari seorang kakek tua dengan gigi yang nyaris ompong. Seakan beliau bisa membaca pikirkan saya ketika melihat sekumpulan pemuda di area pintu keluar Keraton yang tampak iseng mencoret-coret tiang dengan alat tulis, sepertinya bukan orang asli Jogja ketika mendengar logat yang bukan khas Jawa.

“Saya prihatin, sebenarnya yang namanya anak muda itu kan aset bangsa, sebagai kompas, mau dibawa kemana bangsa kita” ucap Pak Yudo sembari melepas kaca matanya.

Sepertinya ia sudah lelah melihat tingkah anak muda korban modernisasi, dahi nya yang berkerut menunjukan asam garam dekade dalam hidupnya.

“Jika yang rusak barang masih bisa diperbaiki, tapi jika yang rusak etika dan moral, maka bangsanyalah yang akan hancur” ucapnya sembari menepuk bahu saya kemudian pergi begitu saja.

Sindiran singkat itu mengingatkas saya akan etika-etika sepele yang terkadang dilupakan. Hidup di era modern memang bukan pilihan, tapi beretika adalah sebuah pilihan.

4. Cara Menikmati Hidup dari Seorang Bule

Hidup adalah soal target untuk mencapai sebuah kesuksesan, begitulah kata salah seorang dosen di kampus. Seakan seperti terdoktrin, apapun yang dilakukan haruslah memikirkan target, barulah bertindak. Paling tidak saya juga pernah mencoba berprinsip demikian.

Tapi, dalam waktu kurang dari satu hari, ucapan seorang bule asal Australia membuatku berpikir dua kali tentang target dan kesuksesan.

“Coba sesekali lakukan hal bodoh, jangan pernah pikirkan target atau sesuatu yang masih menjadi beban, maka kamu akan menemukan sesuatu yang tidak kamu pikirkan sebelumnya” celoteh si bule yang fasih berbahasa Indonesia itu kepada saya.

Melihatnya sangat bahagia, berjalan tanpa beban, saya pikir ada benarnya juga, seseorang butuh refreshing tanpa harus tersangkut dengan target dan sekarang saya sadar, untuk menikmati hidup.

Melakukan hal bodoh bukan berarti tak bertujuan, fokuskan tujuan hanya untuk bersenang-senang, lupakan tumpukan deadline, tuntutan tagihan, atau target untuk sementara.

5. Petuah Wanita Tua di Antara Pohon Beringin Alun-Alun Kidul

Beberapa orang tampak memperhatikanku, tatapan bingung dan sebagian lagi menahan tawa. Saya ambil sapu tangan ungu yang ada di ransel.

Saya lipat segitiga dan ikatkan untuk menutup kedua mata. Satu langkah dua langkah, saya tak tahu ke mana arah langkah ini.

“Agak kanan sedikit mbak” terdengar seruan dari seorang wanita dan pundak serasa disentuhnya. Entah hal terlalu polos atau bodoh, saya pun hanya menurut mengikuti instruksinya.

Saya buka kain yang menutupi mata dan seorang ibu tua sudah berada tepat di depan. “mbak sendirian ya di sini?” Ia tampak berusaha menebak dan saya hanya mengangguk, setengah bingung dengan keberadaannya.

Oke, kedatangannya memang sangat tiba-tiba dan mengejutkan, tampaknya wanita tua itu peka dengan keberadaanku yang sendiri di tengah-tengah keramaian orang berkumpul dengan teman-teman, bahkan pasangannya.

“Berdoa di setiap langkah”, begitu ucapnya. Sebuah kata kunci yang seringkali terlupakan ketika saya bepergian.

Nampak sepele, tapi percaya atau tidak, ketika kamu berjalan sendirian di sebuah kota asing, wejangan-wejangan dari orang yang tak kamu kenal justru bisa menjadi sebuah “alarm” pengingatmu untuk menjadi seorang yang lebih baik.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU