Minuman Alkohol Bali Kini Legal, Saatnya Regulasi Alkohol Nusantara?

Pada bulan Februari 2020 lalu, Pemerintah Bali secara resmi melegalkan sejumlah minuman alkohol lokal Bali, seperti arak, brem, dan tuak.

SHARE :

Ditulis Oleh: Taufiqur Rohman

Pada bulan Februari 2020 lalu, Pemerintah Bali secara resmi melegalkan sejumlah minuman alkohol lokal. Melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020, kini minuman fermentasi asli Bali seperti arak, brem, dan tuak tidak lagi menjadi barang haram. Minuman-minuman beralkohol ini dianggap dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, mulai dari obat penyakit hingga kecantikan.

Arak maupun brem memang menjadi minuman yang sangat populer, baik di kalangan masyarakat maupun wisatawan di Pulau Bali. Beberapa turis bahkan menjadikannya buah tangan. Dahulu peredarannya dilakukan secara tahu sama tahu karena tidak teregulasi dan masih dianggap sebagai barang haram. Yang seperti ini justru sangat membahayakan.

Bagaimana tidak, pelarangan penjualan dan peredaran terhadap minuman beralkohol tanpa pandang bulu bukannya menghentikan konsumsi pada minuman keras ini, malah justru menimbulkan berbagai masalah sosial susulan. Anak mudah Indonesia justru menyiasatinya dengan minuman alkohol yang tidak teregulasi dengan berbagai macam campuran zat kimia berbahaya, mulai dari metanol, minuman energi, hingga obat nyamuk.

(beritabali.com)

Tidak sedikit korban jiwa yang berjatuhan akibat mengonsumsi alkohol oplosan semacam ini. Itulah salah satu alasan yang akhirnya menjadi alasan dari Pemerintah Bali untuk melegalkan minuman beralkohol lokal. Bahkan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) Bali, NTT, dan NTB telah membentuk skema kemitraan dengan petani arak, koperasi, dan produsen minumal alkohol lokal.

Cap Tikus dari Minahasa Menjadi Pionir

Jauh sebelum Bali, pemerintah dari Sulawesi Utara lebih dahulu telah melegalkan salah satu minuman alkohol lokal kebanggaannya, Cap Tikus 1978 sejak Desember 2018 lalu. Cap Tikus 1978 merupakan minuman beralkohol dengan kadar 45 persen. Harga ritel untuk minuman ini berkisar di angka Rp 80 ribu untuk ukuran 320 ml.

Dalam satu hari, Cap Tikus 1978 dapat memproduksi hingga 5000 botol, suplai ke provinsi sebanyak enam kontainer atau sekitar 12 ribu karton. Satu karton berisi 12 botol. Kini pasar paling besar adalah Papua, setiap bulan perusahaan dapat memasok dua hingga tiga kontainer. Selayaknya produk tradisional, bahan baku untuk Cap Tikus 1978 diperoleh dari petani nira yang menyetor ke pabrik.

Saatnya Regulasi Alkohol Nusantara?

Apakah mungkin memang sudah saatnya konsumen mendesak pemerintah daerah untuk juga turut melakukan legalisasi alkohol lokal? Bukan rahasia lagi, jika sebagai negeri yang multikultural, Indonesia memiliki tradisi minuman beralkohol beraneka ragam berbasis kearifan lokal yang telah ada ratusan tahun lalu, bahkan sebelum negara Indonesia sah berdiri.

Ada Ballo di Sulawesi Selatan, ciu di pesisir selatan Jawa Tengah, sopi di NTT dan Maluku, lapen di Yogyakarta, dan tuak di Sumatera Utara. Semuanya berakar dari fermentasi tanaman endemik di setiap wilayah, mulai dari aren, beras, singkong, hingga lontar. Setidaknya dengan adanya regulasi yang baik, konsumen dan produsen tidak lagi harus kucing-kucingan dengan pemerintah. Konsumen tidak nekat mengoplos minuman alkohol dengan bahan berbahaya. Pemerintah pun menikmati pajaknya.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU