Puluhan karya dari para seniman Indonesia dan Brazil dipamerkan dalam acara Biennale Jogja Equator#4, bertempat di Jogja Nasional Museum, Yogyakarta.
Baca juga cara unik menghabiskan waktu di Jogja selama sepekan dengan klik di sini
Acara ini menghadirkan berbagai kegiatan selama bulan November hingga Desember 2017. Salah satunya adalah pameran karya seni para seniman di Jogja Nasional Museum yang berlangsung hingga 10 Desember mendatang.
Menjadi tahun keempat penyelenggaraan Biennale Jogja seri Equator, tahun ini Indonesia berkolaborasi dengan negara Brazil. Sebelumnya berturut-turut dengan negara India, Arab dan Nigeria (Afrika).
Sebanyak 27 seniman Indonesia dan 12 seniman Brazil turut serta dalam acara seni ini. Nama-nama seniman dari Indonesia diantaranya Adi Dharma, Mulyana Mogus, Julian Abraham, Ngakan Made Ardana dan yang lainnya.
Sedangkan seniman dari Brazil diantaranya Lourival Cuquinha, Tiago Mata Machado, Virginia de Medeiros, Clara Janni, Cinthia Marcelle dan lain-lain.
Biennale JogjaEquator #4 yang berkolaborasi dengan para seniman dari Brazil, tahun ini mengusung tema Stage of Hopelessness (baca: Stage of Hope).
Terinspirasi dari keadaan sosial, politik, ekonomi dan budaya dari kedua negara, para seniman Indonesia dan Brazil menuangkan keresahannya akan situasi sekarang ke dalam sebuah karya seni yang epik dan estetik. Selengkapnya baca disini
Dalam pameran ini, dihadirkan beberapa jenis karya seni seperti instalasi ruang, lampu LED, video, lukisan, instalasi objek dan lain sebagainya.
Berikut ini adalah beberapa karya seni para seniman Indonesia dan Brazil yang ditampilkan di Biennale Jogja, berlokasi di Jogja Nasional Museum:
Saat pertama kali memasuki ruang JNM kita akan disambut dengan lorong yang penuh dengan tulisan-tulisan yang dianggap sampah, yang seringkali kita lihat di tempat-tempat umum dan timeline media sosial.
Seni mural dinding ini merupakan karya dari seniman Indonesia, Farid Stevy Asta dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Curhat”. Karya seni mural ini menjadi perhatian banyak pengunjung karena keunikan dan kedekatan konsep dengan kehidupan sehari-hari.
Karya anak bangsa lainnya adalah sebuah instalasi ruang dengan 70 tombak yang digantung mengelilingi satu tempat dengan goresan warna merah darah. Ditambah dengan lampu dan suara yang semakin membuat suasana mencekam.
Di konsep oleh Timoteus Anggawan Kusno karya seni ini berjudul “Matinya Seekor Macan (The Death od A Tiger)“. Merupakan keresahan akan kondisi sekarang, dengan semakin liarnya para pemburu hewan-hewan langka yang dilindungi.
Karya seni lainnya berjudul “Kamu Pecundang Kalau Tidak Bisa Tidur” oleh Mulyana Mogus. Merupakan karya seni media campuran yang unik dengan menghadirkan dua objek yang berbeda ruangan berupa kasur dan kereta lengkap dengan relnya.
Karya besutan Mulyana ini juga cukup menarik perhatian dengan konsep yang unik dan keadaan yang sangat dekat dengan masyarakat. Di mana banyak orang sulit tidur karena berbagai hal.