Menemukan Keluarga di Kaki Gunung Lawu

Saya percaya bahwa keluarga baru bisa saya temukan di luar sana. Seperti saya menemukannya di kaki Gunung Lawu

SHARE :

Ditulis Oleh: Bayu Topan

Foto dari tekooo

Setiap tempat baru yang saya datangi, kemudian bertemu dengan orang-orang di sana, mengenalnya lebih dekat, itu adalah takdir yang sudah digariskan sebelum saya dilahirkan

 

Mimpi apa saya, duduk di tepi jalan, di depan sebuah rumah yang dikelilingi berhektar sawah, menyapa ibu-ibu tua yang berjalan sambil membawa beban setumpuk besar jerami di punggungnya hingga jalannya membungkuk namun tetap bisa memberikan senyum kepada saya.

Mimpi apa saya, Mmemandang jauh ke selatan di mana Lawu berdiri gagah, memandang ke barat pada matahari yang membenamkan diri di antara hamparan sawah, merasakan hembusan angin yang menyegarkan dada, dan bila malam tiba, saya bisa betah memandangi langit yang penuh gugusan bintang yang tidak saya kenal dan bimasakti yang benderang.

Mimpi apa saya, menjumpai kembali kunang-kunang, serangga yang saya percayai begitu saja ketika saya masih anak-anak, bahwa kunang-kunang adalahj jelmaan kuku orang mati, lalu kini sinar terangnya hanya menjadi dongeng bagi orang kota.

Apa yang saya tuliskan ini bukan kiasan yang saya lebih-lebihkan, malah saya tidak cukup kata untuk melukiskan kenyamanan yang saya rasakan setiap kali mengunjungi Jamus, Kecamatan Sine, Kabupaten Ngawi, Jawa Timur.

Pak Mul, pemilik rumah tempat saya dan tamu saya bermalam, selalu menyambut kami dengan hangat. Beliau bukan penduduk asli Jamus, melainkan pendatang dari Jakarta. Setelah pensiun, beliau membeli sebuah bangunan bekas penggilingan padi  di kaki Gunung Lawu lalu mengubahnya menjadi rumah yang ia tempati sekarang bersama istri keduanya dan Lanang, anak laki-laki bungsunya yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Saya sudah bosan hidup di kota,‘ kata Pak Mul, pria bertubuh pendek, berkulit gelap, berkacamata, dan selalu mengenakan celana pendek kemanapun dan kapanpun, tak peduli udara dingin gunung menembus tulang, ini. ‘Di sini saya sudah tidak butuh apa-apa. Di sini saya sudah senang. Bangun pagi, memberi makan ikan-ikan, dan mengurus kebun.’  tambahnya sambil menggergaji kayu di belakang rumahnya.

Di belakang rumahnya ia bangun kolam lele dan nila. Tidak besar. Tak ada pagar mengelilingi rumahnya, melainkan dikelilingi oleh persawahan. Tidak pun memiliki tentangga. Adanya perkampungan pun berjarak seratus meter di sebelah utara dan limaratus meter di sebelah selatan rumahnya. Di sekitar kolam ada kebun kecil yang ditanami bermacam sayuran dan buah.

‘Tapi bila mau, saya bisa kembali ke Jakarta dan menghasilkan ratusan juta dari perusahan-perusahan yang saya tinggalkan. Tapi saya tidak senang. Percuma. Buat apa?’ raut wajahnya terlihat begitu damai. Beberapa kali senyumnya mengembang.

Istrinya yang sekarang berasal dari kota Padang. Saya menggemari masakannya yang sederhana, sesederhana penampilan dan kepribadiannya. Siang itu, di saung di halaman depan rumahnya, makan siang sudah tertata rapi di meja: nasi putih di wakul, dadar jagung, tempe goreng, sup jagung, sambal yang pedasnya begitu kejam dan selalu saya rindukan, serta segelas jus markisa yang buahnya bergelantungan di halaman. Saung menghadap ke selatan, di mana Gunung Lawu berada, membuat santapan siang menjadi luar biasa.

Jamus dikenal dengan perkebunan tehnya. Ia menghampar bak permadani hijau di kaki Lawu. Perkebunan ini merupakan peninggalan Belanda. Luasnya kurang lebih empat hektar jika saya tidak salah. Ada pabrik pemrosesan teh yang usianya sudah tua di sana. Segalanya masih asli peninggalan Belanda. Penduduk yang tinggal di sekitarnya bekerja untuk perkebunan dan pabrik tersebut. Bila pagi hari para ibu pemetik teh menyebar di antara rimbunan pohon teh yang msaih mengembun. Sempat saya mencoba untuk memetik daun teh menggunakan ani-ani yang saya pinjam dari salah satu pemetik namun susahnya minta ampun. Tidak semudah yang saya lihat. Ibu-ibu ini begitu lihai menggunakannya seolah ani-ani ini bagian dari tubuhnya. Sementara di dalam pabrik pemrosesan tehnya hampir seluruh pekerjanya adalah bapak-bapak. Jumlah mereka tidak banyak. Tergantung seberapa banyak hasil pemetikan tiap harinya. Mesin-mesin yang digunakan untuk pelayuan hingga pengeringan di dalam pabrik ini beberapa adalah mesin tua yang masih terawat dengan baik. Bahan bakar untuk mesin pelayuan dan pengeringan pun masih menggunakan kayu. Pemandangan indah yang saya lihat di salah satu ruang pengeringan adalah tumpukan kayu bakar yang tertata rapi menjulang hingga mencapai atap pabrik.

‘Semuanya ini disiapkan untuk musim hujan nanti,’ kata salah satu pekerja.

 

***

Ada dua buah pohon cempaka berdiri di bukit dekat pabrik sana. Harum bunganya bisa saya rasakan bersama udara segar pegunungan. Rumah Pak Mul bisa saya lihat dari sini meskipun terlihat sangat kecil berpadu dengan sawah yang masih hijau dan yang sudah menguning, atap-atap rumah perkampungan, rimbunan pepohonan, asap-asap industri, dan tumpukan awan. Semuanya membentuk satu lukisan yang indah.

Beberapa warung menjual bermacam-macam teh hasil dari perkebunan. Langganan saya adalah warung pak Sri. Begitu saya tiba di sana beliau sudah siap sedia menyiapkan seduhan teh. Teh yang katanya memiliki khasiat paling tinggi adalah teh putih. Teh ini masih berupa pucuk daun. Dipetik pagi hari sebelum matahari muncul. Kemudian pak Sri melakukan eksperimen sederhana untuk membuktikan bagaimana teh putih ini bekerja. Beliau menyediakan dua gelas berisi air panas. Lalu keduanya diteteskan iodin beberapa kali. Satu gelas diberi teh hijau dan gelas yang satunya teh putih. Lalu beberapa saat kemudian masing-masing gelas menunjukkan reaksinya. Gelas yang dicampur teh hijau warna airnya berubah seputih susu, sementara yang dicampur teh putih warna iodin diserap oleh daun teh dan air menjadi bening kembali. Begitulah kira-kira bagaimana teh putih bekerja lebih baik dari teh lain. Selebihnya saya tidak mengerti.

Air segar nan bening dari pegunungan mengalir berlimpah di sini.  Ia melewati parit di depan rumah-rumah warga di sebuah desa di bawah perkebunan teh. Rumah-rumah mereka masih banyak yang dibangun dari bilik bambu yang sederhana. Sepanjang jalan sudah dilapisi semen sehingga melewatinya pun nyaman dan terlihat bersih. Ada jajaran pinus lebat di tepi jurang yang bila sore tampak menawan ketika sinar matahari yang keemasan menggantung dibalik daun-daunnya. Kemudian setelah melewati pohon-pohon pinus ini terbentang sawah berwarna hijau-kuning yang seolah sengaja ditata sedemikian rupa. Saya bisa berhenti lama di sini sebab dari pematang sawah saya bisa menikmati matahari terbenam di seberang jurang, di balik jajaran pinus sementara angin menyapu padi, membuatnya saling bersentuhan dan menciptakan suara yang menenangkan. Hingga Lawu di selatan meredup dan suara adzan dari kubah-kubah musholah, yang tampak mengilat dari kejauhan saling bersahutan, berkumandang menandai akhir perjalanan saya di Jamus.

 

***

Hati itu, pak Mul sedang membangun beberapa kamar lagi di bagian belakang rumahnya sejak tamu dari luar kota meningkat. Segalanya tidak beliau rencanakan bahwa rumahnya akan menjadi tempat persinggahan orang-orang yang akan mengunjungi Jamus. Tidak ada yang istimewa dari rumahnya. Seperti rumah warga Indonesia kebanyakan. Namun yang membuatnya berbeda adalah kehangatan sebuah keluarga yang pak Mul ciptakan. Setiap berkunjung ke sana saya seperti mengunjungi anggota keluarga saya sendiri. Ada tempat yang saya tuju sekarang bila nama Ngawi disebut.

 

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU