Menelisik Sejarah Peringatan Malam Satu Suro di Tanah Jawa

Malam Satu Suro selalu menjadi hari yang banyak diperingati oleh rakyat Jawa. Namun terdapat sejarah panjang mengapa hari ini menjadi sakral di Pulau Jawa.

SHARE :

Ditulis Oleh: Astrid S

Tanggal 1 Suro bertepatan pada 1 Muharram yang berada dalam penanggalan Islam, yaitu Hijriah.  Berbagai daerah di Jawa, bersiap-siap untuk merayakan 1 Muharram dengan berbagai tradisi.

Baca Juga: Kumpulan Tradisi Unik Perayaan 1 Muharram di Indonesia

Malam 1 Suro selalu identik dengan hal yang mistis karena di malam ini, para penganut Kejawen (kepercayaan tradisional masyarakat Jawa) akan membersihkan benda-benda pusaka yang dimiliki. Namun pada dasarnya, malam 1 Suro merupakan hari di mana masyarakat meningkatkan mawas diri, membersihkan diri, dan mengendalikan diri untuk menjalani satu tahun ke depan. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau tidak pergi ke luar rumah atau mengadakan pesta agar bisa merenung.

Tiga pusat budaya Jawa, yaitu Keraton Surakarta, Pura Mangkunegaran, dan Keraton Kasultanan Yogyakarta, memeringati malam 1 Suro sebagai tonggak sejarah Islam di Tanah Jawa.

Penanggalan Jawa: Akulturasi Budaya Jawa dan Islam

Seperti yang dikatakan di awal, Bulan Suro adalah bulan pertama dalam sistem penanggalan Jawa. Sistem penanggalan ini pertama kali diperkenalkan oleh Raja Mataram Islam, yaitu Mas Rangsang atau lebih dikenal dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo. Di bawah kekuasaannya, Kerajaan Mataram Islam berada dalam masa kejayaannya pada awal abad ke-17. Pertama kali didirikan oleh Ki Ageng Pemanahan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Maka pada awalnya wilayah kerajaan ini masih sebagian besar dipengaruhi oleh agama Hindu.

Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Kerajaan Mataram Islam yang memperkenalkan Kalender Jawa. (Foto: soloevent.id)

Sebagai seorang penganut agama Islam yang taat dan untuk memperluas kekuasaan Kerajaan Mataram Islam, Sultan Agung Hanyokrokusumo mencoba untuk mengkombinasikan penanggalan Islam atau hijriah yang banyak dianut oleh masyarakat pesisir, dengan penanggalan Hindu atau Saka yang masih dianut oleh masyarakat pedalaman beragama Hindu Kejawen. Hal ini juga dilakukan untuk memperkuat Kerajaan Mataram Islam dengan tradisi Jawa dan pengaruh Islam dari kekuatan asing.

Akhirnya Sultan Agung Hanyokrokusumo mengeluarkan dekrit yang menyatakan penggunaan sistem penanggalan Jawa di seluruh kerajaan, dimana sistem penanggalan ini merupakan gabungan dari sistem penanggalan Hijriah dan sistem penanggalan Saka.

Perhitungan tanggal dalam sistem Jawa menggunakan sistem perhitungan berdasarakan peredaran bulan seperti yang didasari dalam penanggalan Hijriah, namun angka tahun yang digunakan masih menggunakan penanggalan Saka. Sehingga bulan 1 Suro Jawa diterima sebagai awal tahun Jawa tapi tahunnya tidak dimulai dari tahun 1, melainkan dari tahun 1555 berdasarkan tahun penanggalan Saka.

Maka dari itu, 1 Suro dianggap sebagai hari yang sakral bagi masyarakat Jawa karena merupakan hari munculnya keputusan penting di Kerajaan Mataram Islam. Selain itu, berdasarakan buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa karya Muhammad Solikhin, dikatakan bahwa Bulan Suro merupakan bulan yang penting bagi penganut Kejawen karena dianggap sebagai bulan turunnya Aji Saka ke Pulau Jawa untuk membebaskan rakyat Jawa dari cengkraman raksasa serta merupakan bulan kelahiran huruf Jawa.

Baca Juga: Kesakralan Kirab Satu Suro di Surakarta

Keraton Surakarta masih mengadakan Kirab Kerbau Bule untuk memperingati Malam 1 Suro. (Foto: rimanews.com)

Hingga kini, malam 1 Suro masih diperingati oleh masyarakat Jawa di seluruh pulau. Walaupun tak semeriah di masa lalu, tradisi perayaan malam 1 Suro masih bisa Anda temukan di beberapa kota, seperti Kirab Kerbau Bule di Keraton Surakarta. Dalam tradisi ini, masyarakat Surakarta akan mengarak Kebo Bule Kiai Selamet, atau kerbau yang dianggap keramat dalam kepercayaan Jawa dan dianggap sebagai pusaka keraton. Atau Anda juga bisa datang ke Keraton Yogyakarta untuk mengikuti Tradisi Mubeng Benteng, yaitu mengarak benda pusaka mengelilingi benteng keraton tanpa diperkenankan untuk berbicara atau biasa dikenal dengan istilah tapa bisu mubeng benteng.

Terlepas dari perbedaan tradisi untuk memeringati 1 Suro, esensi peringatan tersebut perlu tetap dilakukan agar bisa bersyukur kepada Tuhan dan mempersiapkan diri untuk menjadi lebih baik lagi setahun ke depan.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU