Desa Trunyan merupakan desa adat di pedalaman Bali yang terletak di sisi timur Danau Batur, Kabupaten Bangli. Masyarakat desa ini terkenal karena kebiasaannya dalam penguburan mayat dianggap tidak wajar. Setiap ada anggota keluarga atau kerabatnya yang meninggal, mayat tidak dikubur di dalam tanah, melainkan diletakkan begitu saja di dalam sangkar bambu di tempat terbuka hingga membusuk hingga menyisakan kerangka.
Ritual pemakaman di Desa Trunyan tidak wajar, berbeda dengan penganut Hindu lainnya di Bali. Hal ini karena dalam menjalani kehidupan spiritual, masyarakat Desa Trunyan memadukan antara kepercayaan animisme, adat istiadat leluhur, dan intrepetasi mereka sendiri terhadap pemahaman ajaran Hindu. Penguburan dengan cara ini menjadi cara untuk menjaga hubungan dengan keluarga atau kerabat yang telah meninggal.
Meskipun hanya diletakkan begitu saja tanpa penguburan, anehnya sama sekali tidak tercium aroma busuk dari mayat. Bahkan organisme dekomposer seperti lalat, belatung, atau cacing juga tidak ditemukan di sekitar mayat di makam Desa Trunyan. Usut punya usut, ternyata hal ini disebabkan oleh pengaruh dari sebuah pohon magis bernama Taru Menyan yang berdiri kokoh di area pemakaman Desa Trunyan.
Konon pohon Taru Menyan ini memiliki aroma yang sangat harum, bahkan wanginya dapat tercium hingga ke tanah Jawa. Seorang penguasa di Jawa yang penasaran kemudian mencari sumber wangi tersebut hingga sampai di pohon Taru Menyan. Singkat cerita, tanpa disadari sang Raja terhipnotis dan jatuh cinta dengan salah seorang penunggu gaib pohon tersebut. Saat tersadar, Raja sangat menyesali perbuatannya.
Agar tidak ada yang terbuai oleh godaan pohon magis Taru Menyan, Raja memerintahkan untuk meletakkan mayat di sekitar pohon tersebut untuk meredakan semerbak wanginya. Perintah ini kemudian diwariskan secara turun temurun oleh masyarakat setempat hingga kini. Meskipun begitu, tidak semua mayat bisa dimakamkan dengan cara seperti ini. Terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar mayat layak.
Virus corona (Covid-19) yang telah menjadi pandemi global hingga saat ini turut mengubah tata cara di hampir seluruh ritual pemakaman. Meskipun demikian, ritual pemakaman Desa Trunyan tetap berlangsung seperti biasa karena oleh pejabat setempat mengklaim bahwa Covid-19 belum mencapai wilayah timur laut terpencil tempat masyarakat Trunyan bermukim. Ritual tetap berlangsung, namun masyarakat luar dilarang berkunjung.
Mayat tidak dikubur di Desa Trunyan sebelum ritual pemakaman terlebih dahulu akan diberikan ramu-ramuan khusus yang terbuat dari berbagai jenis rempah. Setelah itu dibawa ke sebuah pulau di sisi lain desa, tempat makam Trunyan berada. Selanjutnya mayat diletakkan begitu saja di atas tanah kemudian ditutup oleh pagar bambu. Terakhir didoakan dan diberi sesajian di sekitarnya. Jika mayat telah membusuk dan tersisa tengkorak, maka tempatnya akan digantikan untuk mayat baru.
Semua peserta yang mengikuti ritual pemakaman Desa Trunyan juga wajib mengenakan masker. Jaga jarak juga diterapkan demi mencegah terjadinya penularan. Hingga saat ini memang belum ada satu kasus pun di desa adat ini. Sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi global oleh WHO, semua akses pariwisata di Bali ditutup, tak terkecuali Desa Trunyan. Tak diketahui pasti kapan akan dibuka kembali mengingat kasus Covid-19 masih tinggi.
Bagi masyarakat Trunyan, ritual pemakaman ini bukanlah semata-mata atraksi wisata, melainkan sebuah adat tradisi keagamaan yang wajib dijalankan apapun alasannya. Menurut kepercayaan mereka, ritual ini merupakan prosesi sakral yang telah berlangsung sejak ribuan tahun lalu. Jika tidak dijalankan maka bencana dan marabahaya besar akan menimpa seluruh masyarakat desa. Ini adalah kearifan lokal yang harus dihormati.