Seperti apakah kopi terbaik itu? Bisakah kamu beritahukan padaku?
***
Antrian mengular panjang di rumah berwarna coklat yang berlokasi di Jalan Banceuy, Bandung. Semerbak wangi kopi tercium ketika saya melewati antrian tersebut untuk bertemu dengan sang empunya Toko Aroma yang bernama Pak Widyapratama. Pria paruh baya ini menyambut dengan senyum yang ramah dan hangat untuk mempersilakan masuk.
“Ayo masuk, silakan.”
Imajinasi saya terbang liar. Tempat ini seperti mesin waktu yang membawa kita kembali ke masa lalu.
Suasana kuno mulai terasa ketika saya mulai masuk ke dalam dapur pemasakkan biji kopi. Onggokkan besi-besi tua yang lebih besar dari tubuh saya, kepulan asap hasil pembakaran, dan tumpukkan biji kopi yang bertebaran menandakan bahwa kopi di sini masih dibuat secara tradisional. Semarak. Para pekerja hilir mudik.
Pak Widya menepuk pundak saya.
“Nah, disini kita menjemur biji kopi yang sudah ada,” Pak Widya yang menunjukkan tanah kosong di belakang pabriknya.
“Untuk menurunkan kadar asam dan kafein pada biji kopi Arabika yang sudah dijemur, kita simpan selama 8 tahun. Sedangkan untuk kopi Robusta 5 tahun.”
Wow! Tak pernah terpikir dalam benak saya proses pembuatan kopi ternyata sampai selama itu.
Saya lempar pandangan ke sekeliling. Tumpukkan karung goni menjulang tinggi menghiasi dinding-dinding pabrik dengan berbagai macam nama dari perkebunan di nusantara, ada yang berasal dari Aceh, Medan, Lampung, Jawa, Flores, hingga Papua. Tumpukkan biji kopi inilah yang nantinya menunggu giliran masuk ke dalam mesin roaster untuk menghasilkan biji kopi terbaik.
Dengan cekatan tangan Pak Widya memasukkan balok-balok kayu ke dalam tungku pemanas. Lidah-lidah api menjulur tak henti-hentinya menandakan panas yang dihasilkan sudah cukup. Roaster terus berputar untuk menghasilkan biji kopi yang matang secara merata
“Butuh waktu 2 jam untuk memasak biji kopi ini. Dibutuhkan kesabaran supaya kopi yang dihasilkan pun berkualitas baik. Kalau prosesnya dikerjakan secara baik, maka hasilnya juga baik. Kayu untuk pembakaran juga tidak pakai kayu sembarangan. Kita pakai kayu karet karena menghasilkan panas yang rendah. Makanya kita bisa menyebut Kopi Aroma ini kopi organik, karena kita melakukannya secara tradisional dan tanpa campuran bahan kimia. Jadi tidak membuat perut kembung,” Pak Widya dengan lugas bercerita dibalik dapur pembuatan kopi aroma.
Biji kopi yang semula berwarna kuning sebelum dimasukkan ke dalam mesin pemanas, perlahan berubah menjadi coklat. Kepulan asap yang dikeluarkan dari biji kopi yang masih panas membuat aroma kopi menusuk di hidung. Para pekerja pun dengan sigap meratakan biji kopi yang masih panas supaya cepat dingin sebelum dimasukkan ke dalam mesin penggilingan. Asap hasil pemanasan biji kopi mengepul dengan indahnya dan seakan menari-nari tertiup oleh angin. Serbuk sisa pembakaran bewarna coklat beterbangan layaknya hujan salju.
Yang menarik dari kopi ini adalah cara penyajiannya yang tidak bisa sembarangan. Kenikmatan kopi ini akan sangat terasa bila disajikan dengan air mendidih, lalu dituang ke dalam cangkir hingga buihnya naik, diaduk secara perlahan hingga berbusa, lalu tambahkan gula secukupnya, dan terakhir minum selagi panas. Begitulah arahan yang diberikan oleh Pak Widya yang sudah empat dekade mengelola bisnis kopi.
***
Bukan hanya ilmu tentang kopi yang saya dapat dari Pak Widya, tapi juga tentang kehidupan.
“Hidup harus bersih, jujur, dan ikhlas, serta berbuat untuk sesama.” Itulah filosofi yang selalu dipegang oleh pemilik Kopi Aroma. Karena itu Kopi Aroma dapat bertahan selama hampir puluhan tahun dan tidak ditinggal para penikmat kopi. Karena beliau percaya, bahwa rejeki sudah ada yang mengatur.
Filosofi yang layak dijadikan panutan.
Artikel ini merupakan bagian dari program Bingkai Negeri #1 yang membahas perjalanan dan kopi. Cerita lain tentang kopi dalam program ini dapat kamu lihat dihalaman Serangkai Cerita Tentang Kopi.