Jujur dan tidak iri hati. Dua sifat baik yang mulai ditinggalkan manusia modern.
Ironis. Ketika ada embel-embel modern di belakang kata manusia justru tentang kejelekan yang mengiringi.
Maraknya kasus korupsi, kolusi dan nepotisme juga disebabkan dua sifat tersebut yang lama- lama justru dianggap hal yang tak biasa. Jujur itu aneh, bohong itu wajar. Tak usah munafik dan menuding preman berdasi di gedung-gedung pemerintahan sana. Ingat, menunjuk dengan satu jari, 4 jari mengarah ke diri kita sendiri.
Jujur dan tidak iri hati. Dua sifat baik yang masih dipegang teguh oleh suku tradisional di kawasan Gunung Bromo, Jawa Timur sana. Suku yang diyakini sebagai keturunan dari putri raja Majapahit Roro Anteng dan Putra Brahmana Joko Seger, Suku Tengger.
Materi pelajaran yang diberikan oleh guru SD dan benar-benar diterapkan oleh Suku Tengger memberi bukti. Teguh berpegang pada prinsip jujur dan tidak iri hati membuat Suku Tengger begitu dihormati oleh penduduk sekitar. Penduduk sekitar yang bukan berasal dari Suku Tengger sering meminta pendapat dan bantuan dari Suku Tengger jika terjadi masalah atau perselisihan.
Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Jawa Kuno. Bahasa jawa ini tak mengenal kasta bahasa seperti bahasa jawa wilayah Keraton. Jika kita mendengarnya mungkin terdengar asing dan tak biasa.
Mereka dikenal sebagai penjaga Gunung Bromo. Bromo adalah tempat suci bagi suku ini.
Gunung Bromo telah termasyhur hingga penjuru dunia. Panorama indah dan suasana mistis yang mengiringi menjadi daya tarik. Foto sunrise dan sunset Bromo disebut sebagai salah satu yang terindah di dunia. Foto pemandangan gunung ini menghiasi berbagai majalah wisata, kalendar, wesbsite hingga kartu-kartu pos, namun, suku tengger tak seterkenal itu.
Jika tak ada ritual Yadnya Kasada yang rutin digelar mungkin suku tengger tak akan dikenal sama sekali. Yadnya Kasada, sebuah ritual turin yang digelar tiap tanggal 14 di bulan Kasada dalam penanggalan kalender tradisional Hindu Tengger, digelar untuk Sang Hyang Widhi serta para leluhur. Pada upacara ini nantinya akan dipilih dukun atau tabib dari desa-desa yang ada di sekitar Bromo.
Aku mengenal beberapa teman yang kuliah di jurusan kedokteran. Mereka mengaku kuliah mereka begitu berat. Hampir tak ada waktu bersenang-senang. Buku-buku tebal tentang kesehatan menjadi santapan sehari-hari. Semua hal tentang anatomi tubuh harus hafal di luar kepala.
Begitu pula calon dukun atau tabib suku tengger. Sebelum upacara berlangsung mereka harus menjalani tes pembacaan mantra-mantra kuno Hindu terlebih dahulu sebelum akhirnya diangkat oleh tetua adat.
Posisi dukun atau tabib di Suku Tengger sangat kuat karena mereka diyakin dapat menyembuhkan penyakit dan masalah apapun yang dialami oleh warga desa.
Sebelum Yadnya Kasada dilangsungkan, para calon tabib menyiapkan sesaji untuk nantinya dilemparkan ke kawah sebagai bentuk persembahan bagi Sang Hyang Widhi. Sesaji yang dilempar ke kawah bisa berupa sayuran, ayam atau bahkan uang. Sesaji tersebut sebagai rasa syukur atas hasil peternakan dan pertanian yang melimpah ruah.
Ada yang unik di sini. Di dalam kawah telah menanti banyak pengemis dan penduduk tengger yang biasa tinggal di pedalaman. Jauh-jauh hari mereka telah tiba di sini dan membuat tempat tinggal sementara di sekitar kawah demi mendapat sesaji yang dilempar.
Ide buruk jika kau ingin menonton Yadnya Kasada dan baru datang ke tempat ritual pada malam hari. Menjelang upacara suasana sangat ramai oleh aktifitas para dukun dan masyarakat yang bersiap-siap. Jalan menuju kaki gunung dapat dipastikan macet.
Jika ingin menuju tempat ritual usahakan berjalan beriringan bersama para penduduk sekitar. Tebalnya kabut dapat membuat kita tersesat.
Eksistensi sebuah suku tradisional bukan hanya untuk dikagumi. Alangkah baiknya jika kita juga dapat mengadopsi berbagai filosofi kehidupan yang baik dari mereka untuk kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.