Wisata Dieng kian menggairahkan dan membanggakan dari tahun ke tahun. Hal ini tentu tak lepas dari peran serta masyarakat lokal dan pengusung pembangunan pariwisata berbasis masyarakat tersebut.
Kami menemui Alif Faozi, ketua dan penginisiasi Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Dieng Pandawa, pada hari kedua gelaran Dieng Culture Festival 2018, Sabtu (4/8/2018) pagi.
Diketahui bahwa Pokdarwis Dieng Pandawa adalah forum rembug dan komunikasi masyarakat pariwisata kawasan Dieng yang berada di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara.
Kelompok sadar wisata ini sekaligus merupakan embrio dari program Dieng Culture Festival yang hingga kini telah dihelat dan memasuki tahun kesembilan.
Ini tidak lepas dari konsep kami dalam perkembangan wisata berbasis masyarakat yang pada tahun 2005 awalnya saya menjadi ketua pemuda di Dieng. Saya menginginkan mereka punya kreativitas, ingin melihat sumber daya yang melimpah ini sebagai sesuatu yang tidak biasa, pada akhirnya saya melakukan kegiatan dan koordinasi dengan pemerintah.
Kemudian ada program pengembangan ekonomi lokal dan regional di Jawa Tengah. Pada salah satu program saya mengambil perkembangan kluster dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat.
Pada perjalanan inilah saya kemudian membuat kelompok sadar wisata atau Pokdarwis dibawah naungan karang taruna yang saya pegang. Pada waktu itu belum sepopuler sekarang. Justru ada yang menyebutnya, Pokdarwis adalah kelompok modyar yo wis (kelompok ya sudah mati saja-red). Namun bagi saya itu tidak jadi mengapa.
Saya kemudian belajar rumus awal 3A, yakni Atraksi, Aksesibilitas, dan Amenitas. Pada A yang pertama, kami sudah memiliki kekayaan yang cukup melimpah ruah. Atraksi alam, budaya, buatan, kami punya semua. Kemudian pada Aksesibilitas, kami juga sudah cukup mumpuni. Nah kemudian dari segi Amenitas inilah yang kami kembangkan,
Amenitas ialah peluang usaha masyarakat. Wisatawan adalah manusia yang juga memerlukan kebutuhan, baik itu makan, minum, dan keterangan. Inilah yang kemudian menjadi penentu konsep masyarakat saya pendukung amenitas.
Kami menggunakan konsep manajemen pengembangan ekonomi partisipatif dengan metode kompas. Kami menganalisis internal dan juga analisis pasar. Kami mapping keinginan pasar, mulai dari upgrade homestay, hospitality, dan lain sebagainya.
Karena bagi kami, membina tidak bisa dilakukan sendiri. Kami kemudian menggandeng kalangan akademisi, perusahaan, pemerintah, media dan seluruh stakeholderyang terkait.
Setelah menganalisis internal dan pasar, kami kemudian mengembangkan apa yang dinamakan branding-advertising-selling. Dieng dulu belum punya nama. Awal kami coba dengan nama ¨Desa Dieng Kulon Negeri Atas Awan¨ kemudian kami inovasi lagi menjadi ¨Gebyar Budaya Dieng¨ hingga kemudian tercetuslah apa yang kita kenal bersama dengan sebutan ¨Dieng Culture Festival¨.
Wisata Dieng berproses, termasuk Dieng Culture Festival, dulunya hanya kegiatan masyarakat biasa. Kegiatan budaya dan kesenian Dieng. Beragam pendekatan dan konsep kami coba, hingga melahirkan DCF yang kini telah memasuki tahun kesembilan, dengan pariwisatanya yang semakin berkembang pula.
Tercatat pada gelaran DCF tahun kemarin, per wisatawan membelanjakan Rp350 ribu dalam sehari. Nominal ini kemudian dikalikan dengan 100 ribu pengunjung yang ada. Maka tercatatlah Rp35 miliar perputaran uang ada di dalam event wisata tahunan ini.
Kesuksesan DCF dan dalam hal ini Pokdarwis Dieng Pandawa tentu adalah berkat seluruh partisipasi aktif dari semua kalangan. Sebab ini adalah event gotong royong, community based tourism, dari, oleh dan untuk rakyat.