Flores tidak hanya tentang keindahan alamnya saja, terdapat sebuah desa yang juga tak kalah menarik, Kampung Bena. Lokasinya berada di bagian timur Gunung Inerie, tepatnya di Desa Tiwuriwu, Kabupaten Ngada, Flores. Kampung Bena merupakan desa adat tertua di Asia Tenggara yang sudah ada sejak 1.200 tahun lalu dan menjadi satu-satunya perkampungan zaman megalitikum yang masih eksis hingga kini.
Kampung Bena Flores terletak di ketinggian 2.245 mdpl, desa ini dikelilingi oleh pepohonan bambu dan beringin yang rindang. Menuju Kampung Bena dapat ditempuh dengan perjalanan 30 menit dari Bajawa di Flores ke arah selatan. Pintu masuk perkampungan ini berada di utara, sedangkan bagian selatan merupakan puncak sekaligus terbing terjal yang sulit dilewati.
Menyusuri setiap sudut Kampung Bena, waktu seolah mundur ke ribuan tahun lalu sebelum peradaban modern. Masyarakat di sini hidup dengan cara tradisional ala manusia di zaman megalitikum. Bentuk pemukiman Kampung Bena berundak-undak mirip perahu karena sama sekali tidak mengubah kontur asli tanah. Menurut kepercayaan lokal, perahu adalah wahana arwah arwah setelah kematian.
Total hanya terdapat 45 rumah di kampung adat di Flores ini yang menjadi tempat tinggal bagi sembilan suku, diantaranya Suku Bena, Ago, Dizi, Dizi Azi, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Khopa, Wahto, dan Ngada. Suku Bena dianggap sebagai yang paling tua dan pendiri perkampungan. Rumah-rumah tersebut dibangun dari material kayu dan bertapakan rumbai.
Ada sembilan rumah kecil yang berpasangan tepat di tengah Kampung Bena. Rumah dengan atap tinggi disebut Gadu dan menjadi simbol untuk laki-laki. Sedangkan rumah yang beratap mirip payung disebut Baga dan menyimbolkan untuk perempuan. Setiap rumah tersebut melambangkan sembilan suku yang hidup berdampingan dalam damai di Kampung Bena.
Di ujung Kampung Bena terdapat bukit tempat masyarakat berkumpul untuk beribadah dan berdoa. Patung Bunda Maria berdiri di tengah bukit diantara bebatuan yang ditata menyerupai gua. Meskipun hidup dengan cara megalitikum, masyarakat Kampung Bena telah meninggalkan agama leluhur, animisme dan dinamisme. Mereka menganut agama Kristen.
Karakteristik megalitikum tampak dari banyaknya bebatuan besar yang banyak dijumpai di setiap sudut Kampung Bena. Setiap rumah memiliki setidaknya satu batu besar berujung runcing yang menjadi simbol untuk penghormatan kepada leluhur yang telah meninggal. Selain itu, ada juga batu berundak, batu berbentuk lonjong dan meja batu untuk meletakkan sesajen atau keperluan ritual adat yang mistis.
Dalam menyelesaikan permasalahan dan sengketa di lingkup Kampung Bena, masyarakat akan menggelar persidangan tradisional yang unik di ujung kampung. Ada sebuah kursi yang disebut Turebupati yang hanya bisa diduduki oleh ketua suku yang bertindak sebagai hakim. Ketua suku berhak untuk memberikan putusan atas permasalahan yang terjadi.