Bosan dengan suasana yang itu-itu saja, dan ingin menjauh dari keramaian. Itulah salah satu alasan saya suka mencoba hal-hal baru.
Hari itu, saya dan seorang kawan – partner in crime – saya, nekat membolos kerja. Kami mengidamkan petualangan-petualangan liar.
Kami sepakat menjadikan Pulau Peucang sebagai tujuan. Telah lama kami memimpikan jelajah pulau ini, mengingat pulau ini terkenal dengan Amazon mini. Peucang terletak di Taman Nasional Ujung Kulon, Pandeglang, Banten. Peucang sendiri berasal dari Bahasa Sunda yang artinya Kancil.
Pulau Peucang salah satu pulau tak berpenghuni dengan suasana alam yang masih asri. Penginapan yang hanya tersedia enam kamar membuat pulau ini benar-benar seperti milik sendiri.
Tak ada warung ataupun rumah lain. Masak sendiri di penginapan yang disediakan menjadi momen yang mendekatkan kami. Asrinya suasana alam Pulau Peucang terlihat dengan banyaknya hewan liar yang bebas berkeliaran. Sesekali rusa dan babi hilir mudik di halaman depan. Bahkan jam tangan kawan saya dicuri seekor kera liar.
Satu hal yang saya pelajari disini, saat keluar dari penginapan, pintu dan jendela wajib dikunci agar rusa dan babi tak mengacak-acak dapur kami.
Posisinya yang agak terpencil membuat Pulau Peucang susah terjangkau sinyal operator seluler. Namun, siapa peduli. Siapa yang akan sempat bermain handphone saat disuguhi pemandangan pasir putih, dan laut biru jernih? Aroma khas laut dan pemandangan indah ini sudah cukup untuk membuat siapapun melupakan sejenak dunia luar.
Sebaliknya, lensa kamera akan sering berbunyi klik.
Menginjakkan kaki di Pulau Peucang ini, sejauh mata memandang hanya terlihat pepohonan hijau, pasir putih bersih di bibir pantai, sementara di seberangnya nampak Semenanjung Ujung Kulon.
Di pulau ini, kami dengan mudah menemukan lutung – salah satu jenis monyet – di bibir hutan. Merekalah para penjaga pulau. Gerakan hewan ini lincah berpindah dari satu pohon ke pohon yang lain.
Ada juga merak hijau, rusa, kijang, babi hutan, dan biawak. Mereka berkeliaran di skitar pulau dan dapat dengan mudah kami temukan. Mereka nampaknya terbiasa dengan manusia. Sesekali mereka mendekat pada kami. Bahkan, kacamata saya diambil seekor lutung saat perjalanan menelusuri hutan.
Di hutan, saya takjub dengan Pohon Ara dan pohon-pohon besar berkanopi lebar. Setidaknya butuh 20 orang yang saling bergandengan tangan untuk dapat memeluk pohon ini.
Pertama melihatnya, kami langsung tertarik pada akarnya yang besar menggantung. Ukurannya kira-kira sebesar paha orang dewasa. Kami mencoba mengenggam dan bergantungan di akarnya.
Proses suksesi alam berlangsung dengan mengagumkan di sini. Pohon ini sejenis pohon yang tumbuh merambat dan melilit pohon yang menjadi indungnya. Akar-akar sulurnya tumbuh kebawah dengan merambat dan membelit pohon inangnya, untuk mendapatkan asupan makanan secara langsung dari tanah hutan. Seiring dengan perjalanan waktu, ukuran akarpun semakin besar dan daya cekiknya juga semakin kuat.
Tak perlu jauh-jauh ke Afrika untuk menyaksikan savana luas dan hewan liarnya. Pulau Peucang memiliki padang rumput bernama Cidaon dengan sekitar 4 hektar.
Untuk ke sini, kami harus naik kapal sekitar 20 menit dari Pulau Peucang. Di sini, kami melihat kawanan banteng yang tengah merumput. Karena saya dan kawan saya pagi-pagi sudah mencapai Padang rumput ini –sekitar pukul 08.00 pagi, kami beruntung dapat melihat merak, banteng, dan rusa yang merumput.
Liar dan natural. Namun sayang, kami hanya dapat mengamati dari kejauhan.
Dilarang berisik jika di Cidaon ini, karena gerakan dan suara yang tiba-tiba bisa membuat lari para hewan.
Selain trekking hutan, kami mencoba melakukan snorkling di salah satu spot di Pulau Peucang. Terumbu karang warna-warni dan berbagai jenis ikan hias menyambut kami. Setelah itu petualangan dilanjutkan dengan canoeing (berkano) menyusuri Sungai Cigenter.
Perjalanan dengan kapal menuju Cigenter kurang lebih menghabiskan waktu dua jam dari penginapan. Setibanya di Cigenter, kami naik perahu kano untuk susur sungai. Tak sabar rasanya menyusuri Sungai yang dijuluki sebagai Amazon mini ini.
Disepanjang sungai, nuansanya cukup horor. Saya dan kawan melihat buaya yang tiba-tiba menyembul ke permukaan air. Di sisi kanan dan kiri sungai beberapa kali terlihat ular phyton nampak melilit di pohon-pohon.
Tak salah jika tempat ini populer dengan sebutan Amazon mini.
Otot kaki terasa mengeras setelah berjalan kaki dari penginapan menuju titik tertinggi di pulau ini.
Pulau Panaitan di seberang terlihat jelas. Inilah momen terbaik di Karang Copong—sebuah karang mati besar yang berlubang (copong—berasal dari bahasa Sunda). Momen dimana langit berwarna jingga keemasan dan matahari terlihat seolah tenggelam ke dalam lautan.
Kami terpaku sejenak sebelum mengabadikan keindahannya dengan beberapa jepretan kamera. Menikmati sunset ditempat seperti ini membuat kesan romantis tersendiri. Perjalanan berakhir, saya menggeliat, semua persenidan dan otot-otot ditubuh terasa kaku.
“Traveling memang sebenar-benarnya obat galau paling mujarab.”