Bagi masyarakat Jepang, kehormatan adalah hal yang penting dalam kehidupan, terutama bagi orang-orang pemegang samurai dan para prajurit. Meninggal dengan cara bunuh diri dalam budaya Jepang dianggap lebih baik dibandingkan meninggal di tangan musuh.
Jika para pria Jepang melakukan Seppuku atau Hatakiri, tradisi membelah perut dengan samurai untuk menyelamatkan harga dirinya di tangan musuh, maka bagi kaum wanita melakukan Jigai untuk menyelamatkan harga diri mereka.
Jigai sendiri merupakan tradisi bunuh diri wanita Jepang dengan cara memotong urat merih yang berada di leher (jugular vein). Proses potong urat leher ini dilakukan dengan cara sekali tebas menggunakan pisau tanto atau keiken (belati atau semacam pedang kecil yang selalu dibawa oleh para anggota samurai).
Karena bukan bunuh diri biasa, para wanita Jepang akan melakukan proses bunuh diri ini dengan duduk bersimpuh sehingga terlihat anggun dan terhormat. Karena prosesnya sangat cepat, maka wajah wanita Jepang yang melakukan Jigai tersebut terlihat tetap anggun tanpa rasa sakit sehingga keanggunannya terpancar.
Tak seperti Seppuku yang butuh bantuan orang lain, Jigai bisa dilakukan sendiri oleh wanita Jepang.
Tradisi bunuh diri wanita Jepang ini biasanya dilakukan oleh para istri samurai yang telah melakukan Seppuku atau istri ksatria yang kalah perang. Jigai dilakukan untuk menghindari tertangkap musuh dan diperlakukan tidak terhormat.
Meskipun tradisi ini mengerikan, namun tradisi ini diajarkan terun-temurun dari ibu kepada anak perempuannya karena tindakan bunuh diri dianggap mencermintakan kehormatan dan harga diri sebagai wanita Jepang.
Tradisi ini masih dilakukan oleh wanita Jepang sejak abad ke-12 hingga ke-20. Mereka bahkan melakukan ritual ini secara masal pada masa Perang Boshin. Keluarga Saifo melihat sendiri lebih dari 20 wanita Jepang memilih melakukan Jigai ketimbang menyerah saat kalah perang.