Siapa yang tak gemas melihat lenggak-lenggok sekawanan gajah? Hewan gempal ini menunjukkan gerak-gerik yang anggun. Kecerdasannya yang super membuat banyak wisatawan terkagum-kagum Celakanya, banyak turis yang kebablasan menganggumi si gajah hingga mereka pun memutuskan untuk menunggangi gajah tanpa tahu kisah suram di baliknya.
Fakta menyedihkan akibat menunggangi gajah ini terungkap dan viral di sosial media, setelah seorang influencer instagram bernama Iqbal Himawan_ mengunggah foto bersama dua ekor gajah dengan caption yang menyayat.
Dalam tulisannya, Iqbal Himawan_ mengungkap rahasia yang tak banyak diketahui turis-turis.
“Struktur punggung gajah terdiri dari tonjolan tulang-tulang tajam yang hanya dilapisi jaringan tipis. Lebih parah lagi saat dikasih dudukan akan semakin melukai dan menyebabkan cedera tulang belakang jangka panjang pada gajah. Kita aja kalau tulang belakang sakit sedikit langsung teriak, mengeluh gak henti-henti. Nah, gajah bisa apa?” kata Iqbal Himawan.
Hal senada pun diungkapkan oleh pendiri perusahaan perjalanan Interpid Travel, Geoff Manchester. Geoff mengajak wisatawan untuk lebih kritis memahami betapa menyakitkannya proses domestifikasi gajah.
“Gajah tak pernah didomestifikasi seperti anjing dan kuda. Meski lahir di penangkaran, gajah tetap hewan liar, dan orang harus ‘menghancurkannya’ supaya ia dapat dikendarai turis dan melakukan pertunjukkan,” katanya.
Selain struktur tulang punggung gajah yang rapuh, tak banyak yang tahu, untuk menjinakkan gajah-gajah tersebut, para pawang harus merantai agar ruang geraknya terbatas. Mereka dipukuli, dilukai, dipaksa bertindak sesuai perintah. Alasan semua ini adalah untuk mengubah perilaku gajah agar lebih disiplin. Nahasnya, apa yang dilakukan manusia ini justru berdampak buruk bagi gajah.
Di Indonesia, eksploitasi gajah juga terjadi di beberapa tempat wisata. Jika Anda berkunjung di Kebun Binatang Margasatwa Semarang, Anda akan menemukan seekor gajah yang sudah cukup tua tapi tetap saja diminta untuk melayani permintaan pengunjung bonbin. Dengan pelana di punggung dan kaki di kerangkeng rantai besi, gajah berjalan memutar.
Dilansir dari tuotrenews.vn, tahun 2015 silam, di Vietnam, seekor gajah juga ditemukan mati karena kelelahan. Na Lieng, nama gajah tersebut, terjatuh dan mati setelah bekerja melayani turis satu bulan penuh.
Dilansir dari Tirto, gajah yang pernah mengalami pedihnya penderitaan disiksa akan bertindak lebih agresif pada manusia. Di Thailand pernah ada kasus gajah mengamuk dan menginjak-injak seorang turis asal Inggris.
Yang disayangkan, upaya mewujudkan pariwisata etis dengan mengubah cara pandang wisatawan atas liburan tak sejalan dengan aturan pemerintah. Siapa sangka, ada pula lembaga yang menolak hentikan kekejaman terhadap gajah atas alasan menjaga adat kebudayaan. Dikutip dari sumber yang sama, Pemerintah Thailand, misalnya, pernah dikritik karena menolak mengakui penyiksaan terhadap gajah untuk pertunjukan.
Sudah saatnya menjadi traveler yang bijak. Gajah bukan hewan yang bisa dijadikan sumber kesenangan. Karena gajah diciptakan bukan untuk memberikan kesenangan kepada manusia.
Manusia yang menciptakan ide-ide pemanfaatan gajah demi menghasilkan rupiah. Gajah memberikan banyak keuntungan kepada manusia, sebagai penghasil rupiah dan hewan penghibur.
Bagaimana dengan gajah? Apa yang mereka dapatkan dari ini semua? Gajah hidup dalam kurungan, dipaksa bekerja berjam-jam melayani turis, dan mereka hidup dalam kandang. Lebih parah, gajah harus mengenakan pelana selama seharian untuk membawa turis-turis berputar.
Hal ini pun tak hanya berlaku bagi gajah, hewan-hewan lain yang dijinakkan untuk menghibur manusia seperti lumba-lumba, harimau, atau atraksi monyet.
“Dari seluruh makhluk hidup di dunia ini, hanya manusialah yang mengundang rasa jijik berkelanjutan.” – Romania Emil Cioran –