Memperingati tahun baru Hijriyah pada 1 Muharram, biasanya masyarakat di Pulau Jawa akan merayakannya dengan menggelar ragam adat tradisi yang unik dan khas. Setiap daerah memiliki adat tradisi yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk akulturasi antara agama Islam dan kearifan lokal yang berlaku. Tradisi untuk menyambut tahun baru Hijriyah ini kemudian dikenal dengan sebutan Grebeg Suro.
Terdapat tiga tradisi Grebeg Suro terbesar di Pulau Jawa yang diadakan di Surakarta (Jawa Tengah), Yogyakarta (D.I. Yogyakarta), dan Ponorogo (Jawa Timur). Namun mengingat dunia masih dalam kondisi pandemi Covid-19. tradisi Grebeg Suro 2020 terpaksa harus ditiadakan, sangat disayangkan.
Karena pandemi, Keraton Kasunanan Suralarta dan Pura Mangkunegaran, Solo sepakat tidak menggelar kirab Kebo Bule dan Pusaka yang harusnya dilakukan pada malam 1 Muharaam. Pihak keraton mengaku akan sangat kesulitan jika harus mengatur masyarakat yang menonton kirab karena jumlahnya dapat mencapai ratusan ribu orang. Dikhawatirkan nantinya gelaran tradisi ini dapat menjadi kluster penyebaran Covid-19.
Meskipun demikian, keraton tetap mengadakan upacara adat wilujengan secara terbatas dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Seperti diketahui, Grebeg Besar di Surakarta akan membawa sejumlah pusaka keramat Kasunanan Surakarta yang akan dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet dan diikuti oleh pasukan keraton mengelilingi pusat Kota Solo.
Keraton Yogyakarta meniadakan tradisi malam 1 Suro untuk menyambut tahun baru Islam yang jatuh pada Kamis (20/8) lalu. Tradisi Grebeg Besar di Yogyakarta adalah Hajad Kawula Dalem Lampah Budaya Mubeng Beteng atau kegiatan berjalan kaki mengitari beteng keraton sembari menjalani tapa bisu (tidak berbicara) atau bersuara) serta tidak merokok, makan, atau minum dengan jarak tempuh 5 km.
Arag Mubeng Beteng ke kiri sebagai perwujudan simbol, dalam bahasa Jawa kiri berarti Ngiwo. Langkah atau laku ke kiri bermakna ngiwakke atau mengesampingkan hal-hal negatif. Tradisi Grebeg Suro Mebeng Beteng di Yogyakarta ditiadakan berkaitan dengan adanya pandemi Covid-19. Meski begitu, pihak keraton tetap menggelar acara pengganti, berupa doa bersama paguyuban bersama para abdi dalem keraton.
Demi mencegah penularan Covid-19, Grebeg Suro di Ponorogo terpaksa harus ditiadakan. Tidak sepenuhnya ditiadakan, hanya acara-acara yang berpotensi mengundang kerumunan yang tidak digelar, seperti festival reog, kirab pusaka, dan larungan di Telaga Ngebel. Sedangkan acara lain seperti pameran bonsai dan pameran pusaka akan tetap diadakan.
Pemerintha Kabupaten Ponorogo khwatir, kerumunan dalam Grebeg Suro menyebabkan kerawanan penyebaran Covid-19. Seperti diketahui, Grebeg Suro adalah salah satu trade mark Ponorogo yang selalu berhasil menarik wisatawan. Sehari saja dapat dikunjungi hingga 10 ribu orang. Pembukaan dan penutupan malah bisa mencapai 50 ribu sampai 100 ribu orang.