Industri penerbangan Indonesia menjadi salah satu sektor yang paling terdampak oleh pandemi Covid-19. Sejumlah negara membatasi bahkan menutup akses penerbangan internasional sejak awal tahun 2020 demi menekan penyebaran Covid-19. Kebijakan ini sontak membuat industri penerbangan dunia, tidak terkecuali Garuda Indonesia merugi besar.
Garuda Indonesia merupakan masakapai penerbangan pelat merah di Indonesia. Pada kuartal III/2020 lalu, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) mengumumkan kerugian bersih sebesar USD 1,07 miliar atau Rp 16,03 triliun. Kerugian ini disebabkan karena banyaknya penerbangan berjadwal yang dibatalkan atau sepi sebagai akibat pandemi Covid-19.
Baca juga: Proyeksi Industri Penerbangan Indonesia pada 2021
Dalam konferensi pers virtual pada akhir tahun 2020 lalu, Direktur PT Angkasa Pura I (AP 1), Faik Fahmi, mengatakan bahwa proyeksi industri penerbangan di tahun 2021 diprediksi masih suram. Ditambah kebijakan PPKM Jawa-Bali membatasi kunjungan warga negara asing ke Indonesia. Nasib industri penerbangan bergantung pada kesuksesan vaksinasi.
Pandemi Covid-19 membuat sejumlah negara memberlakukan pembatasan wilayah dan menutup perbatasan negara. Hal ini berdampak pada sepinya lalu lintas penerbangan komersial. Jelas siatuasi tersebut membuat Garuda Indonesia merugi besar dan berada di ambang kebangkrutan. Meski begitu, bukan berarti pihak manajemen Garuda Indonesia hanya berdiam diri saja.
Baca juga: Sejarah Penerbangan Komersial Dunia
Selama pandemi, pihak Garuda Indonesia berusaha memaksimalkan segala upaya untuk menambah pendapatan. Beberapa sektor yang saat ini sedang dimaksimalkan, pertama adalah bisnis kargo. Selain itu, terlibat juga dalam pengangkutan bahan-bahan kimia. Garuda Indonesia juga berfokus pada pennerbangan carter. Upaya ini dilakukan agar perusuhaan bisa bertahan.