Saya akan kasih tahu tempat wisata eksotis di Blitar yang kamu belum tahu sebelumnya
“Asli mana, Mba?”
“Blitar, Jawa Timur” jawab saya sambil tersenyum.
“Oh, Blitar… Makamnya Bung Karno ya?”
Saat bepergian, seringkali ditanya soal tempat saya berasal. Begitu menjawab keingintahuan mereka, saya justru menerima respons yang hampir sama.
‘Oh…yang ada Makam Soekarno itu ya?’
atau
‘Dekat dengan Makam Bung Karno dong?’
Sebenarnya Blitar itu tempat wisatanya banyak, kamu pengin jalan-jalan kemana? Pantai? Ada. Bukit? Ada. Perkebunan teh? Ada. Candi? Ada. Air terjun? Jelas ada. Apalagi?
Asal kamu tahu, Blitar itu tempat wisatanya nggak hanya Makam Sang Proklamator. Saya akan kasih tahu tempat wisata eksotis di Blitar yang kamu belum tahu sebelumnya.
Hampir setahun silam, saya dan Chris – teman jalan kali ini – jalan-jalan ke beberapa tempat di pelosok Blitar. Kami menyiapkan bekal seadanya. Pagi sekitar pukul 7, kami sudah melenggang di jalanan.
Berbekal GPS – singkatan dari ‘Gunakan Penduduk Sekitar – , akhirnya kami menemukan Goa Luweng yang lokasinya ada di desa Ngrejo, Bakung Kabupaten Blitar. Berani tanya pada penduduk lokal itu hukumnya wajib jika ingin menjelajah ke daerah pelosok. Apalagi jika tempat wisata itu masih tergolong baru, jangan harap tersedia banyak papan informasi yang bisa memberimu petunjuk.
Selang beberapa menit kami memarkir motor, ada Bapak-bapak berkendara motor dan ternyata membututi kami dari belakang. Bapak itu ikut parkir di sebelah motor kami.
“Mau masuk ke Goa Luweng ya?” tanya Bapak itu.
Saya dan Chris serempak menjawab dengan anggukan.
“Untuk masuk ke dalem harus didampingi ya, takutnya ada apa-apa kalau nggak didampingi.” Tuturnya sambil menerima selembar uang 5ribu rupiah yang saya sodorkan untuk ongkos parkir.
Penjelajahan baru saja dimulai, saya dan Chris jalan kaki berbaris membuntuti Bapak-bapak tadi menyusuri jalan setapak di antara ladang jagung. Setelah itu rute disambung dengan menyeberang sungai, lalu menuruni tangga darurat yang berlumut. Kami pun memasuki mulut goa. Makin ke dalam makin gelap, udara pun kian lembab. Saya merangkak perlahan, sambil meraba-raba pijakan.
Pak Nano, nama bapak yang kami buntuti sedari tadi tak lelah mewanti-wanti kami untuk berhati-hati saat berjalan. Tidak hanya itu, Pak Nano tak segan menunjukkan sudut yang cukup bagus untuk mengambil foto selama dalam perjalanan. Akhirnya kami sampai di perut Goa Luweng, sinar matahari pun mulai masuk melalui atap goa. Semakin menambah kesan dramatis. Kami berhenti sejenak, gemericik air terjun dalam perut Goa Luweng menyamarkan keheningan.
Menyambung perjalanan sebelumnya, kami meluncur ke desa Sidomulyo yang jaraknya tak begitu jauh dari Goa Luweng. Tujuan kami selanjutnya adalah sebuah air terjun yang dikenal dengan Kedung Malang. Air terjun ini juga punya nama lain, yakni Tirto Galuh. Untuk menuju lokasi, pengunjung harus berjalan kaki sekitar 10 – 15 menit menyusuri jalan setapak di tengah lahan pertanian.
Rupanya di sekitar area air terjun ini, pengunjung tidak hanya bisa datang untuk piknik atau bermain air. Saya melihat ada bekas perapian darurat, artinya di sini pengunjung juga bisa berkemah. Matahari mulai terik, saya memilih duduk di bawah dahan dan menikmati sejuknya semilir angin. Saya enggan bermain air, mengingat cerita dari Pak Nano sebelumnya tentang kejadian yang kurang mengenakkan di air terjun ini.
Menurut dari penuturan Pak Nano, air terjun ini pernah memakan korban. Itulah sebabnya setiap pengunjung diharapkan selalu berhati-hati. Tidak ada larangan untuk menjelajah ke alam, hanya saja jangan sampai lalai dengan keselamatan diri sendiri. Kadang miris ketika menemukan orang yang menomorduakan keamanan demi mengejar ketenaran di dunia maya, menurut saya itu kebanggaan yang semu.
Sempat tersesat dalam perjalanan menuju Curug Moncar yang sebenarnya lokasinya dekat dengan Kedung Malang. Beruntungnya ada penduduk lokal yang sudi mengantar kami ke jalan yang menyerupai gang menuju Curug. Tidak ada papan atau petunjuk lain seperti spanduk sebagai tanda ada tempat wisata di situ. Hal inilah yang menjadi salah satu tantangan seru ketika menjelajah.
Saya dituntut untuk berani menyapa penduduk lokal, membaur dengan mereka. Penjelajah bukan sekedar turis yang tinggal datang, beli tiket masuk, menikmati pemandangan, foto-foto kemudian pergi. Bukan, penjelajah lebih dari sekedar turis.
Berbeda dengan destinasi sebelumnya, Curug Moncar belum dikelola sebagai tempat wisata. Akhirnya saya dan Chris mampir sejenak di rumah warga, kami menitipkan motor dan tak lupa bertanya soal Curug tersebut. Anak dari pemilik rumah dengan ramah menawarkan diri menemani kami berjalan kaki menuju Curug Moncar. Kami pun langsung setuju.
Namanya Putri, dia masih duduk di bangku sekolah dasar. Tanpa bantuannya, kami sangsi bisa menemukan Curug Moncar. Mengingat jalur setapak menuju kesana belum begitu memadai. Putri beberapa kali harus membuka jalur baru supaya kami tidak terlalu jauh keluar area Curug.
Setelah puas menjelajah bagian selatan Blitar, saya dan Chris bergegas kembali menuju kota. Sebenarnya kami masih malas untuk pulang. Kami pun belum kehabisan akal, akhirnya meneruskan laju ke arah barat menuju Ponggok, Blitar.
Sekitar 1 jam perjalanan, motor kami pun melintasi gapura yang dihiasi beberapa patung rusa. Pertanda sudah mulai memasuki kawasan Alas Maliran. Suasana sepi, kami berharap kawasan ini masih beroperasi. Loket tiket masuk tak ada penunggu. Jelas, kami ketar ketir karena sangat berharap masih bisa masuk ke Alas Maliran.
Keberuntungan masih ada di pihak kami, beberapa menit kemudian datanglah sesosok bapak yang membawa segepok tiket. Ia menyobek dua lembar dan kami menukarnya dengan dua lembar uang dua ribuan. Awalnya kami hanya mengamati kawanan rusa dari balik pagar kawat. Menggoda rusa supaya mendekat dengan sehelai daun yang kami petik dari dahan pohon di dekat kami berdiri. Tetapi gerobak yang penuh terisi dedaunan yang dibawa oleh pengelola penangkaran jauh lebih menggoda.
“Kabul…Bul…Bul…Bul…” teriak pengelola sambil bertepuk.
Semua rusa menoleh ke arahnya kemudian rusa datang dari berbagai arah menuju sumber suara. Oh, ternyata rusa-rusa di sini punya panggilan khusus. Pengelola bercerita bahwa ia memanggil rusa-rusa di sini dengan ‘Kabul’.
Sebelumnya kami telah diberi ijin masuk untuk bisa lebih dekat dengan geng Kabul, saya dan Chris berdiri tak jauh dari gerobak. Pengelola mengajak kami untuk memberi makan pada rusa-rusa. Sedikit takut, saya berusaha menberanikan diri menyodorkan beberapa dahan. Rusa pun mendekat kemudian melumatnya dengan tenang.
***
Perjalanan seru ini tak akan terwujud tanpa peran dari penduduk lokal yang sangat membantu dan informatif. Ada beberapa tips dari saya; pertama, jangan segan untuk menyapa penduduk lokal. Jangan merasa kamu sudah tahu segalanya, apalagi kita hanya sebagai pendatang. Kedua, siap bangun pagi. Semakin pagi semakin banyak hal yang bisa kamu temui. Ketiga, jangan pernah menyerah.
Beberapa tempat di atas hanya sebagian dari objek wisata di Blitar lho! Ya, masih sebagian kecil aja. Catat ya, jadi di Blitar itu wisatanya nggak hanya kompleks makam Ir. Soekarno dan peninggalan sejarah keluarganya. Untuk menjelajah setiap sudut Blitar pun nggak cukup dengan waktu satu atau dua hari, saking banyaknya tempat-tempat menarik di sini.