Antara Rokok, Wanita dan Kopi Lasem

Ada hubungan apa antara rokok, wanita dan kopi lasem?

SHARE :

Ditulis Oleh: Chatarina Komala

Foto oleh Catharina Komala

Sluuurrpp. Satu sesap kopi mampir di rongga mulut dan bekasnya tertinggal di ujung bibir. Dahi teman saya berkerut. Aneh, katanya. Sebab saat diseruput, tak ada rasa pahit yang dominan. Penasaran, saya mengambil cangkir di hadapan, membaui aroma, lalu dengan ragu, menyeruputnya sedikit. Mata saya berbinar. Ada kombinasi asam, legit, bahkan rasa seperti “arang” yang memanja lapis lidah.  

***

“Eh, cara minumnya bukan begitu, Mbak,” seorang ibu pemilik warung kopi datang menghampiri sambil mengantarkan satu botol cairan putih kental ke meja kami.

Saya yang penasaran—sebab setahu saya cara minum kopi selalu saja sama—lalu meminta penjelasannya.

“Nah, caranya seperti ini, lho,” katanya dalam logat Jawa. Sejurus kemudian tangannya cekatan mampir ke gagang cangkir kecil saya, mengangkatnya dari piring yang sedari tadi menjadi alas, lalu menuang cairan hitam kental di atas piring keramik berwarna putih-gading. “Nah, kalau masih panas, tinggal diseruput sedikit-sedikit. Kalau langsung ‘diglek’ ampasnya malah terminum.”

“Oh iya!” sahut kami hampir bebarengan, lalu setengah tertawa menyadari ibu tersebut benar juga. Saya memandang sekeliling. Warung kopi ini tak terlalu luas. Tiga meja berukuran lumayan besar ditata di luar warung. Sementara di dalam, meja dan kursi diletakkan mengelilingi si pembuat kopi. Dari luar, warung ini memang tak terlihat ramai. Empat motor terparkir rapi di halaman, sementara sekitar 6-8 orang berkumpul di dalam. Barangkali, karena ini masih pukul tujuh lebih sekian.

Lasem, sebuah kota kecamatan kecil di sebelah utara Jawa, rasanya memang tak bisa terpisah dari kopi. Meski jejak sejarah tak mencatat adanya perkebunan atau pembudidayaan kebun kopi—kita bisa menjumpai banyak warung kopi; besar maupun kecil, yang tetap ramai baik siang hari maupun malam hari. Saking populernya, di setiap desa, pasti ada lebih dari satu warung kopi.

Saya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Di warung kopi, pengunjung biasanya mengobrol atau sekadar leyeh-leyeh sehabis bekerja. Obrolannya  beragam, mulai dari pertandingan olahraga, politik, ekonomi, pekerjaan, hingga terkadang urusan rumah. Dua orang remaja di seberang meja saya, misalnya. Sayup-sayup saya mendengar, baru saja mereka curhat soal kehidupan asmara!

Rasanya semua cerita pernah tertuang tanpa sengaja di warung kopi: terbungkus lapis tipis asap ketel yang berbunyi bising saat mendidih, mengepul, lalu hilang begitu saja..

Seni Melukis dan Jejak Akulturasi

Foto oleh Catharina Komala

Saya lupa menyebutkan, bahwa saat itu kami sedang ada di warung kopi lelet, jenis kopi khas yang bisa kita temui di Lasem. Dinamakan “lelet” karena sembari ngopi pengunjung biasanya nglelet: yakni melukis atau membatik dengan gerakan menorehkan motif di media lukis atau dalam bahasa Jawa “dileletke”. Tetapi tak seperti kegiatan melukis atau membatik pada umumnya, media lukis yang digunakan adalah rokok, sementara tintanya menggunakan ampas (sering kali disebut lethekan) sisa kopi. Tentu saja, agar merekat, ampas itu harus terlebih dulu dicampur susu kental manis. Saya jadi teringat, rupanya botol yang dibawa oleh ibu pemilik kedai tersebut berisi susu kental manis yang fungsinya sebagai “perekat”, bukan sebagai “pemanis” tambahan, seperti yang saya kira.

Dari mana asalnya tradisi nglelet ini memang belum diketahui secara pasti. Ada yang mengaitkannya dengan tradisi membatik masyarakat Lasem yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, ada pula yang mengaitkannya dengan kebiasaan warga Lasem yang pergi ke warung kopi untuk sekadar mengisi waktu luang atau mengobrol melepas penat. Sembari mengobrol, muncul ide untuk melukiskan pola-pola di sebatang rokok sebagai kanvasnya.

Meski sebetulnya tahu proses nglelet ini lewat beberapa artikel maupun cerita perjalanan dari situs internet, saya penasaran untuk menyaksikan prosesnya langsung. Sedikit canggung memang, sebab saya yang bukan perokok ini langsung diarahkan ibu pemilik warung untuk duduk dan menyaksikan sekelompok bapak yang mengobrol ringan sembari nglelet.

Satu helai tisu diletakkan dengan hati-hati di atas sisa ampas yang ada di piring alas cangkir. Gunanya, untuk menyerap air yang tersisa, agar ampas tetaplah bertekstur kental dan pekat. Tak lama, satu botol plastik kemasan saus—yang sebetulnya berisi susu kental manis—dituangkan tetes demi tetes di atasnya. Dengan menggunakan sendok kecil, adonan diaduk pelan-pelan, hingga tercampur rata dan teksturnya dirasa cukup.

Untuk melukis atau menggambar pola, pengunjung biasanya menggunakan tusuk gigi, atau korek api yang ditajamkan ujungnya sebagai kuas. Meski mayoritas pola yang dilukiskan adalah motif batik, terkadang, pengunjung juga menggambar pola lain. Di tengah panas kopi pun juga kepulan asap ketel dan rokok yang memenuhi udara, tak bisa diingkari kegiatan minum kopi di kota Lasem menjadi sebuah budaya khas yang tak bisa ditemui di tempat yang lain. Ia punya peranan penting, dalam mempertahankan keutuhan warga Lasem yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Tak peduli suku, agama, maupun ras, di warung kopi—etnis Jawa maupun Tionghoa yang sudah lama hidup berdampingan dengan harmonis berinteraksi dan berbagi cerita.

Penasaran, saya bertanya, adakah perbedaan antara rokok sebelum dan setelah dilelet. Apakah jadi beraroma kopi atau justru terasa seperti kopi?

“Ya, rokoknya jadi lebih nikmat dihisap. Ada rasa dan aroma kopinya,” kata seorang bapak sambil menyalakan satu batang rokok hasil nglelet yang sudah kering. Memang agak sulit, tambahnya lagi. Sebab ampas kopi yang menempel mengakibatkan rokok jadi berat saat dihisap dan susah dibakar. “Mbaknya mau coba, tho?” katanya bercanda.

Kami tertawa. Tanpa disadari, pembicaraan jadi berlanjut tentang asal-usul kami, tujuan kami datang ke sini, dan segala pembicaraan lain. Status kami yang semula hanya “orang asing” pun mencair. Menguap jadi satu bersama kepulan asap rokok yang membumbung tinggi, lalu hilang di udara.

Antara Kopi, Rokok, dan Wanita

Foto oleh Catharina Komala

Nyobain kopi lelet, yuk!”

Tiba-tiba dua teman saya, yang merupakan warga asli Lasem saling berpandangan. Kikuk, tapi mengiyakan. Saya yang menangkap keanehan itu dari ekor mata tergoda untuk bertanya. “Lho, kenapa memangnya?”

“Nggak apa-apa. Yuk!” sahut mereka berdua, sambil mengambil kunci motor dan menyalakan mesinnya.

Dibonceng salah satu teman, saya melintasi jalan yang penuh dengan truk-truk pengangkut besar, khas jalanan Pantura. Maklumlah, jalan utama di kota Lasem memang masih sejalur dengan Groote Postweg—salah satu rute jalan besar yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Dari sejarah kita tahu, pembangunannya digagas oleh Gubernur Jenderal Willem Daendels, dengan sistem paksa atau kerja rodi.

Di kanan kiri saya, lampu-lampu kuning kendaraan berpendar. Bangunan tua berjejer bisu. Sebagian masih dihuni, namun sebagian lagi tidak—sering kali jadi pangkalan warung tenda penjual makanan, atau justru warung kopi. Dari dalamnya, neon bercahaya putih-kuning memancar, terang sekali.

Setelah mampir terlebih dulu ke toko batik, akhirnya kami sampai di salah satu warung. “John Kopi Lasem”, namanya. Seperti yang sudah kita tahu, di Lasem, jumlah warung kopi sendiri bisa puluhan jumlahnya. Ada beberapa warung kopi yang terkenal, namun teman saya mengatakan: tempat ini salah satunya.

Seluruh pengunjungnya adalah laki-laki. Tak ada perempuan, kecuali istri pemilik warung. Secangkir kopi disajikan—harus melalui proses terlebih dahulu, yang berbeda dari biasanya. Kopi dan gula dituang dalam panci, lalu ditambahkan air panas. Itu pun belum siap diminum. Campuran ini harus kembali dimasak hingga benar-benar mendidih. Agar semakin nikmat dan beraroma sedap, beberapa warung kopi bahkan menjerang campuran ini dengan kayu bakar.

Sama seperti kopi lainnya, kopi Lasem berjenis Arabica. Namun, proses pembuatannya lebih rumit. Saya baru tahu, biji kopi yang dibeli (umumnya di pasar) harus disangrai terlebih dulu sebelum akhirnya digiling. Proses penggilingan tak Cuma satu kali. Melainkan bisa enam hingga delapan kali. Tak heran, tekstur akhir bubuk kopi terasa lembut dan halus, sehingga adonan ampas saat nglelet pun sempurna. Sayangnya, hal itu bukanlah tanpa risiko. Semakin banyak proses penggilingan dilakukan, semakin banyak risiko massa kopi susut atau terbuang.

Satu cangkir kecil kopi lelet dihargai Rp2.000 saja. Biasanya, pengunjung bisa meminum 1 hingga 2 gelas—bahkan lebih dalam satu hari. Tak heran. Apalagi begitu tahu, betapa mengasyikkannya nongkrong, menikmati kopi, dan mengobrol sembari nglelet.

Karena rokok, dan kopi saling berkaitan erat. Maka, bisa disimpulkan mayoritas penggemar kopi lelet adalah perokok. Saya pun bertanya-tanya, inikah alasan kedua teman saya terlihat agak kaget dan canggung ketika diajak untuk menikmati kopi lelet?

Maka dalam perjalanan pulang, saya bertanya lagi. Menurut mereka, di sana, tabu hukumnya jika perempuan betah nongkrong lama-lama di warung kopi (apalagi bila sambil nglelet). Oalah,” sahut saya yang pada akhirnya paham mendengar penjelasan tersebut.

***

Sebelum benar-benar beranjak pergi, kami memutuskan untuk membeli beberapa bungkus bubuk kopi “mentah” sebagai oleh-oleh. Harganya Rp20.ooo. Bubuk kopi tadi dikemas ke dalam plastik bening berukuran seperempat kilo, tanpa label. Wanginya cukup menusuk, perpaduan asam dan sedikit bau arang yang pekat.

Beberapa hari setelah sampai di rumah, saya memutuskan untuk mencicipinya lagi. Beberapa sendok bubuk kopi lelet saya seduh bersama gula secukupnya. Aneh, rasanya tak sama, sekalipun ritual “menuang kopi di piring alas cangkir” tetap saya lakukan. Barangkali karena prosesnya salah. Atau barangkali, karena kopi Lasem memang seharusnya dinikmati di tempat asalnya; sembari mengobrol dan nglelet? Mungkinkah ini salah satu tanda agar saya kembali lagi ke sana? Ah, entahlah.

Artikel ini merupakan bagian dari program Bingkai Negeri #1 yang membahas perjalanan dan kopi. Cerita lain tentang kopi dalam program ini dapat kamu lihat dihalaman Serangkai Cerita Tentang Kopi.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU