Alasan Mengapa Aceh Memang Layak Mendapat Julukan Serambi Mekah

Aceh memang layak mendapat julukan serambi mekah, ini dia alasannya.

SHARE :

Ditulis Oleh: Eneng Nunuz

Ini cerita saya tentang ingatan sehari singgah di tanah rencong, tanah yang pernah terkoyak ganasnya Tsunami, dan tanah yang memiliki julukan Serambi Mekah.

***

Masjid Baiturrahman tampak samping. Foto oleh Eneng Nunuz

Hari itu, kira-kira pukul 14.30 WIB di awal bulan Maret 2013, mobil kami melaju memasuki Kota Aceh. Saya melihat kanan-kiri jalan yang ramai. Aceh telah hidup kembali, setelah petaka menghampiri. Bangunan-bangunan megah telah berdiri, jalanan hitam mulus kami jejaki.

Sepanjang perjalanan, kami mendengarkan cerita supir kami tentang Aceh.

Kalau di Aceh, laki-laki tak boleh bercelana pendek mba, perempuan harus berjilbab, tak boleh berkeliaran lebih dari jam sepuluh malam, dan kalau boncengan di motor harus menyamping.”

Saya mengangguk-angguk mendengarnya.  Mungkin karena hal itu pula, di sini saya sering melihat betor, alias becak motor dimana penumpangnya duduk disamping pengendara, tidak di belakang.

Suara adzan Ashar berkumandang. Mobil berbelok menuju halaman Mesjid Baiturrahman. Bangunan yang berdiri di depan saya ini begitu megah. Kisahnya yang berhasil selamat dari gempuran air bah, bahkan menyelamatkan ribuan nyawa kala itu telah melegenda ke seluruh dunia.

Saat melangkah memasuki area masjid, memori akan tsunami kala itu berkelebat dalam pikiran. Saya memang tak mengalaminya langsung, tapi berita-berita tentan tsunami di layar kaca itu yang ditampilkan terus hampir tiap hari menancap dalam pikiran. Tangis korban, bangunan-bangunan yang hanyut, aksi sigap para relawan, semuanya muncul bergantian di pikiran. Masjid ini membangkitkan semua memori itu.

Saya melepas alas kaki, mengambil wudhu dan bergegas masuk ke dalam masjid.  Masjid Baiturrahman ini tak sepi seperti mesjid-mesjid besar lain yang pernah saya kunjungi. Masjid ini ramai dengan kegiatan keagamaan. Disetiap sudutnya berkumpul anak-anak, remaja-remaja, bahkan ibu-ibu yang sedang mengaji. Masjid ini hidup, ia bernyawa, bukan hanya sebuah bangunan megah kosong, yang hanya sesekali ramai ketika sholat jumat maupun lebaran.

Suasana dalam masjif. Foto oleh Eneng Nunuz

“Betapa dekatnya mereka dengan Tuhan,” gumam saya dalam hati.

Seusai sholat, saya lempar pandangan ke sekeliling. Perhatian saya tertuju pada anak-anak berseragam, berkumpul menjadi sebuah grup, kemudian dipandu oleh seorang guru. Ada banyak grup-grup dengan seragam yang sama. Saya menaksir mereka sedang bersekolah TPA (Taman Pendidikan Al-quran).

Tiba-tiba saya teringat masa kecil saya bersekolah TPA. Siang hari seusai sekolah dasar, saya berlari-lari membawa tas yang berisi Al-quran, kesebuah bangunan di seberang mesjid. Bedanya disini, sekolah mereka tidak di seberang mesjid, tapi di masjid itu sendiri. Masjid memiliki fungsi lebih dari sekadar tempat sholat, tapi tempat ibadah sesungguhnya. Karena pada dasarnya menuntut ilmu pun bagian dari ibadah.

Damai tiba-tiba menelisik masuk dalam kalbu, tenang menghampiri. Suara-suara orang mengaji, menjadi obat hati. Saya merasa saya akan betah duduk berlama-lama duduk di tempat ini.

Saya jadi teringat seorang teman yang berasal dari Aceh, suaranya mengaji di waktu subuh, menjadi alarm pengingat untuk memenuhi panggilan-Nya. Ia rajin sekali beribadah, saya jadi mengerti mengapa, jika melihat pendidikan agama yang di pupuk sejak dini dan melihat kondisi disekitar lingkungannya seperti ini.

Ketika malam tiba, saya menyempatkan diri mampir ke tempat ini, untuk sekedar mengambil fotonya di malam hari. Ternyata masjid ini masih begitu ramai. Selain pengunjung yang memang sengaja untuk sholat di masjid, masih banyak penduduk sekitar yang mengisi waktu luang mereka untuk beri’tikaf (berdiam diri di masjid).

Masjid Baiturrahman di malam hari. Foto oleh Eneng Nunuz

Apa yang saya rasakan ternyata sama halnya yang ibu saya rasakan ketika beribadah di Tanah Suci Mekah. Ibu saya bercerita, jika beribadah di Mekah itu menyenangkan, hati riang ketika harus pergi ke masjid. Padahal jarak ke masjid tidak terbilang dekat.

“Kalau di Mekah enak teh, senang banget diam di mesjid lama-lama, mengaji, beribadah, nggak kerasa capai tuh bolak-balik ke masjid”.

Itu mungkin mengapa Aceh dijuluki Serambi Mekah. Serambi tak ubahnya hanya pelataran, namun Aceh mampu menggugah hati dan menyadarkan saya damainya ketika hati dekat dengan pemilik semesta. Semoga kelak bukan hanya Serambi Mekah yang dapat saya kunjungi, tapi Mekah itu sendiri.

SHARE :



REKOMENDASI




ARTIKEL KEREN PALING BARU