Meski modernitas kota mulai menyerbu, namun Jawa Barat tetap teguh melindungi kearifan lokal budayanya. Mereka tetap menjaga nilai-nilai luhur kehidupan yang diwariskan oleh para pendahulunya.
Suku Baduy misalnya, sub-etnis Sunda yang tinggal di Banten ini, hingga sekarang masih memegang teguh prinsip leluhurnya. Mengisolasi diri dari pengaruh modernitas, menjunjung tinggi nilai gotong royong dengan saling tolong menolong, dan menerapkan gaya hidup tradisional seperti tidak menggunakan kendaraan bermotor.
Meski hidup jauh dari dunia luar, Suku Baduy tidak merasakan keterasingan. Mereka hidup sederhana, harmonis, dan bahagia dengan nilai-nilai yang dipegang teguh hingga sekarang.
Suku Baduy hanya satu contoh dari banyaknya kearifan lokal Jawa Barat yang tetap terjaga di masa kini. Selain Baduy, Jawa Barat memiliki Kampung Adat Cikondang yang dikenal dengan keteguhannya melindungi adat kesundaan.
Kampung Adat Cikondang berada di Desa Lamajang, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Kampung adat Cikondang merupakan pemukiman etnis Sunda yang telah menjadi bagian dari benda cagar budaya yang dilindungi. Kalau dihitung-hitung, Kampung Adat Cikondang telah berusia 200 tahun. Keberadaannya diperkirakan muncul pada awal abad ke-XIX atau sekitar tahun 1800.
Namun, musibah besar terjadi. Pada tahun 1942, kebakaran besar melanda Kampung Adat Cikondang. Rumah-rumah adat yang berusia ratusan tahun hangus terbakar kobaran api. Peristiwa kebakaran tersebut telah menghancurkan kampung adat peninggalan leluhur Sunda. Hanya satu yang tersisa, rumah adat milik Bapak Anom Samsa di atas lahan seluas 3 hektar yang hingga kini dijadikan rumah adat oleh penduduk sekitar.
Rumah adat Kampung Adat Cikondang memiliki bentuk khas rumah adat Sunda. Posisi rumah adat Cikondang menghadap ke arah utara dan berada lebih tinggi dari rumah-rumah penduduk di sekitarnya.
Bahan dasar rumah adat Cikondang terbuat dari bambu, kayu, dan ijuk. Dengan atap yang kiri kanannya agak melebar ke samping. Kemudian, konstruksi di bagian bawah rumah berupa kayu-kayu penyangga dengan dinding dan atap yang terbuat dari bambu. Rumah adat ini tidak memerlukan paku, masyarakat setempat menggunakan tali ijuk sebagai pengikat.
Tidak hanya rumah adat yang masih terjaga keaslian Sundanya, Kampung Adat Cikondang pun hingga sekarang masih melestarikan ritual-ritual adat. Ritual utama di Kampung Adat Cikondang dilakukan pada saat pergantian tahun. Tepatnya pada tanggal 15 Muharram.
Ritual adat ini merupakan rangkaian upacara untuk memperingati adat penutup (wuku taun) dan pembuka tahun (magap taun). Masyarakat setempat berkumpul, memanjatkan doa, dan mengucapkan syukur untuk menyambut tahun baru.
Untuk menyambut hari besar ini, masyarakat sekitar sudah melakukan persiapan jauh-jauh hari, yang dilakukan mulai dari tanggal 1 hingga 14 Muharram, seperti menumbuk beras menggunakan lisung, memasak makanan tradisional. Semua olahan masakan khas kampung Cikondang yang telah dipersiapkan ini nantinya akan disuguhkan pada acara puncak yang berlangsung pada 15 Muharram.
Ketika berbicara tentang kuliner, Kampung Adat Cikondang memiliki kuliner daerah yang masih terjaga cita rasa authentic nya hingga sekarang. Total tedapat 45 jenis makanan khas. Dari sekian banyaknya, opak, raginang, klontong, teng-teng, dan ampeang menjadi kuliner khas Kampung Adat Cikondang yang harus dicicipi saat berkunjung ke sana.
Masyarakat setempat pun dilarang menggunakan perlatan elektronik, seperti TV, Radio, Kulkas, dan lainnya. Jadi, masyarakat setempat masih menggunakan hawu atau tungku untuk memasak.
Berkunjung ke Kampung Adat Cikondang tidak cukup hanya dengan mengenal lebih dekat keaslian rumah adatnya dan mencicipi makanan khasnya. Nilai-nilai kearifan lokal yang kuno namun sarat akan budaya leluhur jadi hal yang menarik untuk ditelisik.
Kampung Adat Cikondang dikenal dengan hutannya yang keramat dan mitos-mitos setempat yang masih dipercaya. Masyarakat sekitar punya aturan yang kurang bisa diterima nalar. Seperti aturan melepas sandal saat memasuki Hutan Larangan.
Ketika memasuki Hutan Larangan, pengunjung diharuskan untuk melepas sandal atau alas kaki. Yang tidak boleh dilanggar juga, masuk lah dengan melangkahkan kaki kanan terlebih dahhulu. Jika dipikir-pikir, aturan seperti ini kurang bisa diterima nalar di zaman yang serba modern. Di dalam kawasan hutan terdapar melati purba yang berusia sekitar 360 tahun. Uniknya, saat melati purba ini mekar, aroma wangi akan tercium di seisi kampung.
Untuk menjaga keberadaan melati purba dan tumbahan lain yang ada di dalamnya, maka setiap pengunjung memang harus mematuhi aturan yang ada. Seperti melepas sandal. Bahkan, Hutan Larangan tidak bisa dikunjungi setiap saat. Pada hari Selasa, Jumat, dan Sabtu, Hutan Larangan ini tidak boleh dikunjungi oleh siapapun. Selain itu, umat beragama non muslim dan wanita yang sedang menstruasi pun dilarang memasuki hutan ini.
Ada satu hal lagi yang unik, memotret di Hutan Larangan Kampung Adat Cikondang ini pun tidak bisa sembarangan. Ada aturan yang harus dipatuhi. Salah satunya, hanya boleh memotret pada hari-hari tertentu, Minggu, Senin, Rabu, dan Kamis.
Wisata Kampun Adat Cikondang memang belum sekomersil wisata budaya Suku Baduy. Belum banyak biro perjalanan yang akan mengantarkan ke sana. Maka, setibanya di Kampung Adat Cikondang, mintalah juru kunci setempat untuk menemani perjalanan. Saat ini, terdapat 5 juru kunci yang menjaga keberadaan Kampung Adat Cikondang, yaitu Ma Empuh, Ma Akung, Ua Idil (Anom Idil), Anom Rumya, dan Aki Emen.
Hutan Larangan yang menjadi bagian paling menarik perhatian banyak orang tidak bisa dikunjungi setiap saat. Datanglah pada hari Minggu, Senin, Rabu, dan Kamis. Untuk para wanita, pastikan juga sedang tidak berhalangan saat ke tempat ini. Satu hal lagi, Hutan Larangan ini hanya diperuntukan untuk umat muslim.