Sudah dua jam lamanya aku berada di cafe ini, tak terasa aku sudah menghabiskan dua gelas teh tubruk dan kudapan bika Ambon yang sudah tak tersisa di piring.
“Aku kangen rumah, Ri” ujar temanku, Fitri.
“Sabar, perjalanan kita masih beberapa hari di sini, setelah itu kita pulang” timpaku.
Sudah satu bulan kami berdua melakukan perjalanan ke 2 negara yaitu Italia dan terakhir Belanda. Satu bulan cukup untuk membuat kami merasa sangat rindu rumah, rindu iklim tropisnya, rindu kemacetan di jalan raya, dan rindu kuliner khas Indonesia tentunya.
Setiap hari selama di Belanda kami selalu menyempatkan menyantap makanan khas Indonesia yang ternyata cukup populer di negeri kincir tersebut. Bukan berarti aku tak menyukai waterzoi, semacam soup dari ikan yang dipadukan dengan sayuran, telur, krim dan mentega, atau stamppot yang terbuat dari leburan kentang rebus dipadukan dengan sayuran dan sosis besar, kedua makanan khas Belanda itu sangatlah lezat, tapi lidah kami lebih akrab dengan masakan nusantara.
Mengobati rasa rindu kami di Belanda lebih mudah dibanding Italia, pasalnya di negara ini banyak sekali ditemukan restoran dan cafe yang menyediakan menu khas Indonesia. Walaupun rasa tetap lebih juara di negeri sendiri, tapi lumayanlah untuk menunda rindu.
Berikut ini adalah beberapa jenis masakan nusantara yang begitu fenomenal dan digemari oleh masyarakat di negeri kincir;
Jangan tanya tentang kepopuleran masakan khas Minang ini. Makanan ini sudah mendunia. Hampir di setiap café-café yang menjajakan kuliner khas Indonesia, rendang selalu berada di menu favorit. Tidak hanya masakannya, aku juga menemukan koki asal Indonesia di beberapa cafe. Hanya saja, rasa rendang di sini tidak sekuat rendang di tanah air terutama dalam hal cita rasa rempah-rempah. Mungkin rasa rasa rendang di Belanda sudah disesuaikan dengan lidah masyarakatnya.
Mereka menyebut gado-gado sebagai saladnya Indonesia, karena ada berbagai macam sayuran yang telah direbus setengah matang lalu dibaluri saus kacang. Jika di Indonesia sayuran terdiri cambah atau tauge, kacang panjang, kangkung, parutan jagung, kentang rebus, tahu dan tempe, maka para koki di Belanda mengkreasikan berbagai sayuran yang agak berbeda dari Indonesia, seperti brokoli dan wortel. Perbedaan lain adalah, di negeri ini jarang sekali gado-gado yang dibungkus dengan daun pisang layaknya penjual di Indonesia, penyajiannya cenderung lebih modern dengan menggunakan piring-piring porselen.
Bagi warga Belanda, sate adalah hidangan olahan daging yang sangat unik, seperti barbeque tapi dicincang dengan ukuran kecil dan ditusuk dengan bambu yang diraut hingga tajam dan disiram dengan saus kacang kental lengkap dengan irisan cabai dan bawang.
Mungkin koki di Belanda terinspirasi dengan kuliner jenis ini, sehingga mereka membuat inovasi sate dengan daging babi. Untuk traveler yang tidak mengkonsumsi daging babi, jangan khawatir, restoran-restoran Indonesia di Belanda sangat pengertian tentang hal tersebut karena tetap tersedia menu sate ayam , kambing ataupun sapi.
Setelah saya cicipi di tiga restoran berbeda, ini adalah salah satu kuliner khas Indonesia yang tidak berubah rasa aslinya, hanya tekstur saus kacang yang lebih lembut.
“…Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei …Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij…” potongan lirik yang berjudul “Geef Mij Maar Nasi Goreng” ini adalah sebuah lagu yang dibawakan oleh Wieteke Van Dort, warga Belanda asli yang mengungkapkan kerinduannya terhadap masakan khas Indonesia.
Selain rendang, urutan teratas dalam menu favorit kuliner Indonesia adalah nasi goreng. Saking populernya masakan ini, aku dan Fitri bisa memperoleh menu nasi goreng dengan kemasan instant yang dijual di pasar swalayan, mereka menyebut nasi goreng instant ini sebagai magnetron.
Siapa sangka gorengan yang biasa dijajakan di pinggiran jalan ini begitu fenomenal di negeri kincir. Aku sempat syok ringan begitu mengetahui harga pisang goreng yang dijual di Belanda. Aku membeli satu pisang goreng seharga 5 EUR atau setara dengan Rp 62. 466,-.
Bagi masyarakat Belanda harga tersebut terhitung murah, tapi bagi kami, itu terbilang mahal. Andai saja para warga Belanda ini berkunjung ke Indonesia, mereka mungkin akan kaget mengetahui betapa murahnya harga pisang goreng.
Berkunjung ke sebuah swalayan untuk membeli salah satu kebutuhan wanita, secara tak sengaja aku bertemu dengan turis Rusia yang hendak membeli kudapan khas Indonesia, bika ambon. Di antara makanan ringan lain, bika ambonlah yang terhitung paling mahal, mulai dari harga yang paling murah 8.9 EUR atau setara Rp 106.192,- dengan ukuran 500 g.
Saya merogoh kocek cukup dalam untuk mendapatkan makanan ini di Belanda.
Javanase rempejek begitulah sebutan masyarakat Belanda terhadap camilan gurih dan renyah khas Jawa ini. Jika di Indonesia rempeyek dijual di warung makan sederhana atau pedagang snack pinggiran jalan, maka nasib rempeyek yang dijual di Belanda ini sungguh beruntung.
Rempeyek banyak ditemui di berbagai restoran, café, dan swalayan dengan kemasan yang bagus. Aku sempat membeli rempeyek untuk saya makan di hotel, ternyata harga yang ditawarkan adalah 1.25 EUR hanya dengan berat 80 g saja.
***
Jika kamu memiliki niatan untuk traveling ke negeri kincir, jangan pernah takut merasa rindu terhadap tanah air, karena selain kuliner Indonesia yang sangat mudah didapatkan, yaitu sekitar 2.500 restoran Indonesia, di negeri ini juga terdapat banyak sekali traveler, mahasiswa studi banding, juga berbagai penelitian oleh orang Indonesia. Kamu tidak akan pernah merasa asing dan sendirian di negeri ini.