Pertama datang ke tempat ini, pandangan saya langsung tertuju pada kuda putih berambut merah. Tangkuban Perahu memang menakjubkan, dia populer hingga tetangga saya yang tak suka traveling-pun tahu, tapi hal yang lebih keren dari Tangkuban Perahu adalah berkuda di Tangkuban Perahu! Kapan lagi bisa menjadi ksatria berkuda berlatarkan gunung penuh cerita legenda?
Kawah putih bukan tempat untuk foto selfie, itu yang saya pikir melihat keindahan tempat ini. Mimpi saya, dan mungkin beberapa wanita di Bandung, berfoto bersama orang terkasih dengan latar kawah putih -dengan suasana uap putih dan biru turqoise airnya. Romantisme yang hanya ada di Bandung.
Racing coaster bukan jet coaster biasa! Air mata saya buktinya, padahal saya bukan seorang yang akan menangis hanya mainan seperti ini sebelumnya.
Entah bagaimana mereka membuat alat ini sehinga bisa mencapai kecepatan 120 km/jam hanya dalam 3 detik, dan benda ini berada pada ketinggian yang sama dengan gedung 20 lantai. Racing coaster ini hanya ada 3 di dunia, 2 di Amerika, dan 1 lagi tentu saja di Trans Studio ini.
Setidaknya, berteriak keras-keras di racing coaster membuat kepala yang terasa berat dengan rutinitas harian terasa lebih ringan.
Orang-orang berkata,”dukung produk lokal, dukung karya lokal,” dan lain sebagainya, dan mereka masuk toko yang menjual semua produk luar.
Sebuah tempat yang unik, dimana kemegahan gaya western -KFC dan Nike, menyaut dengan produk-produk lokal Bandung.
Cihampelas Walk adalah tempat terbaik mendapat kesehatan -menyusuri jalan ini hingga ke sudut-sudutnya cukup melelahkan, dan juga desain jeans lokal.
Pernah terpikir sebuah danau yang terbentu karena derai air mata?
Menurut mitos, Situ Patenggang terbentuk dari derai air mata Dewi Rengganis dan Ki Santang -Romeo Juliet lokal. Kisah cinta mereka begitu berat, sempat terpisah lama sebelum akhirnya kembali bertemu diatas sebuah batu. Batu tersebut kini dinamai Batu Cinta, dan konon air mata mereka membentuk Situ Patenggang ini.
Lepas dari semua itu, danau ini sangat romantis. Suasana tenang dan udara sejuk, dan tentu saja, bersepeda air dengan orang terkasihmu di danau, layaknya drama-drama romantis Asia.
Tak semua orang berkunjung ke museum, termasuk saya. Hanya saja, museum ini berbeda. Saya bertemu T-Rex didalam!
Di Museum Geologi Bandung, ada sebuah fosil T-Rex -dia benar-benar besar, hanya saja tak sebesar yang saya tonton dalam film Jurassic Park.
Bagi penggemar tulang tempat ini mungkin bagai surga karena saya melihat banyak sekali fosil disini seperti misal fosil manusia purba, hingga fosil ular.
Meditasi, berendam air hangat dengan latar tebing-tebing tinggi, pengalaman yan hanya saya dapat di Nirwana Waterpark di Soreang.
Semua lelah serasa lepas dari tubuh, sangat segar, nuansa yang mengingatkan pada suasana pedesaan.
Saat menonton pertunjukan angklung yang dimainkan oleh tim dari Saung Angklung Ujo, saya tak pernah berpikir saya pun dapat melakukannya.
Tiap pengunjung disini akan mendapat masing-masing 1 angklung. Angklung mengajarkan arti kerjasama, karena alat ini tak dapat dimainkan sendiri. Satu angklung untuk 1 nada.
Kamu harus merasakan sendiri sensasi menggoyang angklung dengan tanganmu, dan sebuah kepuasan karena berhasil memainkan 1 lagu bersama orang-orang yang bahkan baru kita kenal saat itu.
Saung Angklung Ujo membuat semuanya menjadi lebih mudah.
Awal datang kesini, saya tak berpikir ada yang istimewa. Apa istimewanya teh? Semua teh yang pernah saya rasakan tak ada bedanya. Pikiran yang segera saya buang jauh-jauh setelah mencoba salah satu menu andalan Oza Tea Time.
Black tea dituangkan ke dalam cangkir berisi madu dan irisan tipis jeruk sunkist. Saat sari jeruk keluar dan berpadu dengan manisnya madu keunikan black tea, rasa yang menempel di lidah benar-benar berbeda dari teh-teh lain yang pernah saya coba! Aroma sunkist samar-samar tercium, bercampur dengan rasa paduan madu dan black tea yang menurut saya ini adalah rasa baru, karena saya sendiri bingung menggambarkan rasa yang muncul. Mereka menamainya, classic orange.
Suasananya sangat ‘rumah nenek’. Sensasi kangen yang biasa muncul saat saya berkunjung ke rumah kakek-nenek di desa.
Pernah membayangkan menunggang kuda sembari mengenakan aksesoris bulu-bulu dikepala ala Indian? Saya merasakannya di De Ranch, Lembang.
Disini kita bisa memilih jenis kuda yang akan kita tunggangi.
Kuda tunggangberwarna cokelat, serasi dengan rompi dan topi ala Indian. Siap maju perang!
Saya benar-benar jatuh cinta dengan arsitektur dan ornamen-ornamen di tempat ini, Hotel GH Universal.
Pertama kali melihatnya, saya membayangkan saya akan tidur di sebuah kastil bak seorang putri seperti di film-film Eropa bersetting abad pertengahan.
Senyum para staf dan waktu sarapan menjadi favorit saya. Bagi beberapa orang hal tersebut sepele, namun bagi saya ini sangat penting. Pelayanan mereka benar-benar ramah, senyum para stafnya nyaman dilihat, tak seperti senyum ‘robot’ di hotel lain yang pernah saya kunjungi.
Sarapannya cukup lengkap dan memiliki “rasa”. Saya bilang memiliki “rasa” karena di beberapa hotel mewah di Ibukota saya bahkan tak berminat menyentuh menu yang dihidangkan karena hambar dan tak beraroma. Menu sarapan penting bagi saya, karena itu adalah sesuatu yang pertama masuk ke perut saya pada hari itu, menentukan baik buruknya mood saya seterusnya selama seharian.
Hotel ini layak untuk menjadi “rumah” di perjalanan, karena hotel bukan hanya tempat menaruh tas dan merebahkan badan, harus nyaman sehingga kita benar-benar bisa menikmati perjalanan kita.
Mendapat pemandanggan gemerlap kota ini membutuhkan cukup perjuangan. Perlu menaklukan tanjakan curam -motor matic saya tak berhasil menaklukan tanjakan ini, hingga teman perjalanan saya harus turun dan jalan kaki. Namun perjuangan ini terbayar lunas.
Suasana saat itu cukup tenang, hanya ada 2 orang fotografer dan beberapa pasang muda mudi. Pemandangan dibawah saya seperti permata yang disebar, berkilauan sangat indah.
Pemandangan yang membuat rindu dan membuat kita ingin kembali berkunjung ke Kota Kembang.