Hujan lebat dan cuaca ekstrim beberapa hari terakhir telah menyebabkan banjir besar di sejumlah daerah. Sabtu (6/2/2021) lalu, banjir besar terjadi di Semarang hingga melumpuhkan jalur transportasi di Pantura. Kemudian pada Minggu (14/2/2021), giliran Nganjuk dilanda banjir besar yang disertai tanah longsor, 23 orang dilaporkan hilang. Kenapa Indonesia sering banjir?
Berdasarkan BNPB, Banjir merupakan satu dari tiga bencana yang paling sering terjadi di Indonesia selain tanah longsor dan puting beliung. Hampir setiap hari, banjir menjadi headline utama di media online maupun cetak. Pada awal tahun 2021 saja, media digemparkan dengan berita banjir besar setinggi 2 meter di Kalimantan Selatan yang telah merendam 7 kecamatan.
Baca juga: Rentetan Bencana Alam 2021, Pertanda Kiamat?
Berdasarkan analisis Aqueduct Global Flood Analyzer, Indonesia termasuk dalam jumlah populasi terdampak banjir terbesar di dunia, dan berada di peringkat enam dunia. Setiap tahun, 640.000 orang di Indonesia terdampak banjir. BNPB menyebut bahwa terdapat lima provinsi paling rentan banjir, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riua, serta Sumatera Utara.
Mengutip wri-indonesia.org, setidaknya terdapat tiga faktor utama yang menjadi alasan kenapa banjir sering melanda Indonesia. Sebagian besar adalah karena perilaku manusia yang merusak alam. Tiga faktor tersebut adalah berkurangnya luas tutupan pohon, cuaca ekstrim, dan topografi Daerah Aliran Sungai (DAS). Tanpa tindak lanjut, ini bisa menjadi kiamat.
Tanpa pohon, keseimbangan hidrologis tanah DAS akan terganggu. Hutan yang terjaga dapat meminimalisir terjadinya banjir. Hal ini karena adanya bahan organik yang membuat tanah gembur, ditambah dengan pengaruh akar pohoh sehingga air lebih mudah terserap ke tanah. Namun, jika luas tutupan pohon berkurang maka air akan sulit terserap dan menjadi aliran.
Baca juga: Sejarah Banjir Jakarta, Terjadi Sejak Hindia Belanda
Indonesia memiliki dua musim, musim penghujan dan musim kemarau. Pengaruh iklim yang tidak stabil akibat pemanasan global sering membuat anomali cuaca di Indonesia. Curah hujan kadang bisa sangat tinggi pada musim hujan (umumnya melebihi 100 mm per hari). Dan ini berkontribusi memicu terjadinya bencana banjir di sebagian besar wilayah Indonesia.
Terakhir adalah kondisi topografi suatu wilayah. Semakin curam lereng maka kecepatan aliran pun akan semakin cepat dan meningkatkan daya rusak saat terjadi banjir bandang. Biasanya, topografi lereng yang miring memiliki bendung alami yang dapat menahan air sampai batas voleme tertentu. Saat bendung alami tak kuat menahan, maka terjadilah banjir.
Hampir setiap hujan deras, wilayah Semarang pasti akan banjir seolah tak ada solusi lagi untuk mengatasinya. Kondisi Semarang berbeda, banjir yang terjadi merupakan konsekuensi karena penurunan muka tanah atau biasa disebut land subsidence. Dikutip Kompas.com, ahli hidrologi UGM, Pramono Hadi menuturkan bahwa Semarang darurat banjir akibat land subsidence.
Baca juga: 5 Kota di Indonesia yang Tenggelam Karena Pemanasan Global
Empat hari dalam satu minggu, Semarang pasti dilanda banjir. Kondisi bisa lebih buruk jika cuaca ekstrim terjadi berhari-hari seperti kemarin. Tak ada yang bisa dilakukan selain melakukan revisi tata ruang. Menurut Pramono, sistem polder dan tanggul yang terintegrasi klep atau pintu otomotis dapat menjadi solusi meskipun sangat mahal, seperti PIK 1 dan PIK 2 di Jakarta.