“Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.” –Soe Hok Gie
Sudah hampir 49 tahun sosok Soe Hok Gie tiada, namun semangatnya masih tetap terasa di setiap langkah kaki para pendaki.
Bagaimana tidak, mahasiswa yang kerap memberikan kritik pada pemerintahan di masa lalu ini meninggal di Puncak Semeru sehari sebelum ulang tahunnya ke-27 tahun pada 16 Desember 1969 karena menghirup gas beracun kala mencoba menapik kegelisahan menghadapi kemunafikan dan hipokrisi pemerintah pada masa itu.
Iya, gunung-gunung di Indonesia adalah tempat ia mencurahkan segala kegelisahannya sebelum akhirnya Semeru menidurkannya untuk selamanya.
Soe Hok Gie memiliki peranan penting dalam sejarah Pencinta Alam di Indonesia, sebab dialah orang pertama di Indonesia yang menggunakan istilah ‘Pencinta Alam’.
Inilah kata yang menggambarkan orang-orang yang suka mendaki gunung dan menyusuri alam bebas atau dulu orang menyebutnya Aktifis Lingkungan atau Penggiat Alam Bebas.
Ia pula orang yang membentuk komunitas kampus bernama Mapala UI, Mahasiswa Pencinta Alam hingga akhirnya dikenal dan diterapkan di berbagai kampus dan universitas di Indonesia.
Dialah sosok yang menuntun para mahasiswa mengenal keindahan gunung, karena semasa hidupnya ia dikenal sebagai pemuda yang sangat mencintai Indonesia dengan caranya sendiri yakni mengenal alam dan masyarakatnya dari dekat.
Tak heran jika nama Hok Gie selalu jadi nama pertama yang akan disebut oleh pendaki jika ditanya soal ‘siapa sosok pahlawan pendaki’.
Jika ditanya mana gunung di Indonesia yang paling sering didaki oleh Hok Gie tentu saja jawabannya Gunung Gede dan Pangrango. Dua gunung ini sudah seperti tempat bermain baginya. Tengok saja Film Soe Hok Gie, maka keindahan Gunung Gede dan Pangrango lah yang sering disorot.
“Di Mapala UI, Gie punya nomor anggota mirip James Bond dan juga nomor tahanan Pram: 007.” ujar salah satu sahabatnya
Namun selain gunung di Jawa Barat itu, beberapa gunung di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga sempat ia jelajahi sebelum meninggal di Puncak Mahameru.
Sebut saja Gunung Slamet, seperti diterbitkan di Kompas yang menyebutkan bahwa ia mendaki pada 14, 15, 16, dan 18 September 1967 lalu di gunung ini. Kala itu Ia menggunakan jalur Kedaung kala itu dan mengaku bosan lantaran hutan yang rapat di sepanjang perjalanan dan tak ada bunga edelweis layaknya di Pangrango, tempat ia sering bermain.
Lalu ia juga melakukan ekspedisi dengan para anggota Mapala UI pada 30 Mei hingga 2 Juni 1969 ke Ceremai. Mereka menyanyikan lagi Padamu Negeri ketika sampai ke puncak sebagai ungkapan rasa cinta pada tanah air.
Disusul dengan Gunung Sindoro, Gunung Sela, Galunggung, Merapi, dan terakhir di Gunung Semeru tempat di mana ia meninggal beberapa jam sebelum hari ulang tahunnya.
“Bagi Gie gunung bukan sekedar pelepas stres. Tapi, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Di tempat yang jauh dari semua fasilitas dan penuh kesulitan orang yang mengalami ujian, apakah dia selfish (yang hanya pikirkan dirinya sendiri) atau orang yang mau memikirkan orang lain,” tulis Stanley dalam penutup buku kumpulan tulisan Soe Hok Gie, Zaman Peralihan.
Kini sosok Hok Gie dimakamkan di Museum Taman Prasasti, Jakarta sebagai penghormatan sebagai sosok pahlawan yang membangun Indonesia dari kemunafikan pemerintah pada masa itu. Ia dihormati bukan hanya para pendaki, namun juga para pemuda dan orangtua yang senantiasa mencintai negeri.
Sebagai penghormatan, kata “Nobody knows the troubles I see, nobody knows my sorrow” ditulis dalam nisannya.
Semoga ada makna yang bisa kita petik dari sosok Soe Hok Gie di Hari Pahlawan ini. Semoga Indonesia dan alamnya tetap berjalan lurus pada kebenaran seperti kata-kata yang sering terucap pada bibir Hok Gie.