Sering sekali saya mendapat pertanyaan dari orang-orang yang mengetahui bahwa saya traveling sendiri. “Kamu yakin traveling sendiri ga apa-apa?”
Entah bagaimana, walau judulnya kita solo traveling, namun pasti ada saja orang-orang yang akan kita temui di jalan. Beberapa dari mereka malahan kemudian bisa menjadi teman for a life time, beberapa jadi teman seperjalanan yang seru. Jadi jangan pernah takut traveling sendirian, karena kamu pasti akan memperoleh teman-teman ketika kamu juga menawarkan diri untuk menjadi teman mereka.
Seperti saat pagi itu, saya bersama beberapa pengajar muda dari Indonesia Mengajar yang saya temui dalam perjalanan backpacking di Indonesia Timur, menuju destinasi Mulut Seribu di Desa Papela, Rote Timur.
Ada apa di Rote Timur?
Mungkin itu adalah pertanyaan orang-orang jika mendengar niatan saya untuk mengunjungi Desa Papela di Rote Timur. Namun tidak banyak orang yang tahu jika Rote Timur memiliki sejuta pesonanya tersendiri. Hal tersebut bisa terlihat dari sepanjang jalan Kota Baa menuju Papela. Terlihat pepohonan menghijau serta bukit-bukit dengan ketinggian yang beraneka ragam dan dipenuhi rumput kehijauan. Adanya beberapa rumah tradisional dari penduduk Rote yang terlihat dari kejauhan membuat pemandangan lebih eksostis dan indah.
Dari kota Baa menuju Desa Papela membutuhkan waktu tempuh sekitar 1,5 jam di siang hari. Tiba di Papela, kami berusaha mencari pemilik kapal yang sebelumnya telah kami hubungi. Kapal tersebut yang akan membawa kami menyusuri Mulut Seribu.
Wow! Begitulah yang ada dalam pikiran kami semua ketika akhirnya kapal tiba di Pantai Leviti. Pantai ini mempunyai tebing karang memanjang di sisi kanan dan kirinya, sehingga membuat Pantai Leviti terlihat seperti celuk pantai tersendiri. Pasirnya yang putih bersih betul-betul terasa lembut di kaki. Airnya yang jernih biru transparan, begitu mengundang kami untuk segera berenang!
Namun hati-hatilah, sebaiknya tidak terlalu jauh berenang dari bibir pantai karena arus yang kencang di tengah bisa menyeret kita ke lautan lepas.
Perjalanan kedua adalah menuju Pulau Peus. Sebetulnya ada dua pilihan yaitu mampir ke Pulau Usu atau ke Pulau Peus. Keduanya adalah kampung nelayan. Karena pemilik kapal sedang ada keperluan di Pulau Peus, kami pun nurut saja ketika mereka mengajak kami bermain-main dengan sampan di Pulau Peus, sembari mereka mengambil ikan untuk keluarga mereka.
Pulau Peus terkenal dengan banyaknya keong. Karena itu perlu berhati-hati ketika menjejakkan kaki di bibir pantai karena banyak terdapat keong berdiam diri di pinggir pantai. Yang membahayakan bagi telapak kaki adalah kuncup-kuncup mulut keong yang menghadap ke atas dan cukup tajam sehingga bisa merobek kaki. Tangan saya pun sedikit terluka ketika sedang menjaga keseimbangan badan dan akhirnya terpaksa harus memegang dasar di bibir pantai yang terdapat keong-keong tersebut. Tiga irisan halus kenang-kenangan dari Pulau Peus terbentuk di telapak kiri saya. Namun hal tersebut tidak menyurutkan kesenangan hari itu, apalagi ketika kami bermain-main dengan sampan. Ternyata butuh teknik menyeimbangan badan agar sampan tidak tenggelam, lalu butuh dayungan yang kuat agar sampan dapat bergerak. Seketika, pegal-pegal terasa di lengan kami.
Entah ada apa dengan nama-nama pantai di Rote Timur ini, karena semua terdengar begitu asing dan klasik. Mungkin ada pengaruh dari Bahasa Portugis sebelumnya. Namun yang pasti Pantai Lemita ini hampir saja terlewat dari kapal kami, tetapi tidak dari pandangan mata kami. Ketika kami melihat sebuah pantai kecil yang terlihat begitu indah, langsung saja kami minta pemilik kapal untuk berhenti.
“Kakak Nona mau berhenti disini?” tanya bapak pengemudi kapal.
Kami pun langsung serentak berkata dengan penuh antusias, “Iya, iya, iyaaa”
Tidak begitu lama waktu yang kami habiskan di pantai ini, karena kami khawatir ombak akan segera menjadi besar karena hari sudah mulai petang, padahal kami belum juga sampai ke Mulut Seribu. Setelah bermain-main dan berfoto, kami pun melanjutkan perjalanan.
Dinamakan Mulut Seribu karena tempat ini merupakan sebuah pantai yang mempunyai banyak tebing dan karang di sekitarnya seperti membentuk gua dan terlihat mempunyai banyak “mulut.”
Jadi, bisa dibilang perjalanan Mulut Seribu adalah perjalanan menyusuri laut, serta melewati tebing-tebingnya yang terbentuk secara natural dengan menggunakan kapal kayu bermotor. Perjalanan dihiasi dengan pemandangan batu-batu karang yang tak jarang ditumbuhi oleh pepohonan. Hijaunya pohon terlihat kontras dengan gelapnya batu karang. Disekeliling kami terlihat tebing-tebing tajam yang panjang, serta ombak yang menerpa-nerpa sisi tebing dengan cukup keras.
Perjalanan menyusuri laut ini cukup memakan waktu karena luas dan panjangnya area. Jangan lupa membawa cemilan kecil juga makan siang jika ingin melakukan trip ini, karena setelah berenang dan hari yang panjang, pastilah perut kita akan mudah lapar.
Betul perjalanan hari itu cukup melelahkan, namun kesempatan untuk melihat secara langsung secuil keindahan dari sejuta pesona Rote Timur terasa seperti membayar lunas semua kelelahan yang kami rasakan.
Salam dari Indonesia Timur,
Dea Sihotang